--

27.5K 950 4
                                    

Los Angeles, California 1998

Tidak yang terjadi lagi tahun ini. Gedung apartement dengan 24 lantai itu masih berdiri kokoh dengan penghuninya tanpa ada keluhan apapun. Pengintaian sudah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Ancaman pengeboman besar-besaran telah diketahui oleh agen-agen rahasia disana.

"Masih tidak ada pergerakan?"

"Belum."

"Kau serius itu ancaman yang benar-benar akan terjadi? Bukan main-main?"

"Apa kau bodoh? Itu jelas-jelas dikirim ke markas kita."

"Tapi nyatanya sampai sekarang tidak ada yang terjadi. Apa kau tidak capek mengintai bertahun-tahun??"

"Hey hey, hentikan itu. Mari fokus pada pengintaian."

Tapi, ucapan salah satu dari mereka masuk akal juga. Ini sudah tahun ke-4 mereka mengintai apartement ini. Tapi, masih belum ada tanda-tanda pengeboman disana. Mungkinkah itu hanya ancaman belaka?

****

"Baby, kamu mau makan ini?" tanya seorang wanita dengan cepol rambut.

Seorang balita berumur 4 tahun itu mengangguk dengan cepat.

Wanita itu tersenyum teduh, lalu mengupaskan buah apel yang putrinya mau dengan bersih dan hati-hati.

"Mam sampai habis okeyy?" ucapnya.

"Emm! Okay mama." saut putri kecil itu dengan semangat.

"Papamu belum pulang sampai sekarang. Apakah dia lembur lagi malam ini?" gumam wanita itu.

Anak itu hanya menggeleng pelan sembari mengunyah apel itu. Papanya selalu telpon jika tidak bisa pulang cepat, tapi entah kenapa malam ini tidak menelpon ke rumah.

Ting Tong!

Bel apartement mereka berbunyi. Raut wajah cerah anak dan ibu itu langsung terpancar disana.

"Papa?" gumam balita itu.

Buru-buru wanita dengan cepol itu berjalan menuju pintu lalu membukanya dengan senyuman manis tercetak dibibirnya. Sedetik kemudian senyuman itu sirna. Karena yang berdiri di depan pintu bukanlah suaminya.

Wanita itu mundur perlahan dengan raut wajah ketakutan. Kenapa wanita itu sama sekali tidak berpikir, kalau itu suaminya pasti dia tidak akan memencet bel. Suaminya akan langsung masuk kedalam dan memberikan sebuah pelukan hangat untuk mereka.

"Suamimu itu tidak akan pulang ke rumah. Aku sudah mengirimnya ke neraka." ucap lelaki dengan pistol di depannya.

"T-tidak mungkin."

"Sekarang giliran kau yang akan ku kirim ke neraka. Menyusul suamimu." kekehnya.

"Mama!"

Sial, kenapa putri kecilnya harus muncul disaat seperti ini? Wanita itu melupakan putrinya yang masih sangat kecil itu.

"Ouhh, putrimu sangat cantik. Bagaimana kalau kita negoisasi." ucap lelaki pistol itu, tersenyum miring.

"Apa maksudmu!?" seru wanita tadi frustasi.

"Hmm, aku akan membiarkanmu hidup. Sebagai gantinya, berikan putri kecilmu itu padaku." ucapnya dengan angkuh.

Tcuih!

Wanita itu meludahi wajah lelaki di depannya tanpa rasa takut. Tidak akan dia mengorbankan putrinya demi nyawanya. Itu tidak akan pernah terjadi.

"Jangan harap. Bunuh aku dan jangan pernah sentuh putriku." garangnya.

"Ow ow, keras kepala ternyata." kekeh lelaki itu dengan sinis.

Balita 4 tahun itu nampak takut dan juga gemetar. Dia mulai beringsut untuk menggapai telepon rumah mereka. Berharap bisa menghubungi nomor darurat agar mereka mengirimkan bantuan kesana.

"Biarkan putriku pergi. Dan bunuh aku setelah dia meninggalkan apartement ini." ucap wanita tadi, dia putus asa. Dia tidak ingin putrinya terluka.

"Tidak akan aku biarkan itu terjadi. Lihatlah tingkah sok pahlawan putrimu itu," desis lelaki tadi tajam. Pria itu mengarahkan pistolnya ke balita 4 tahun yang tengah memegang gagang telpon itu.

"JANGAN! KU MOHON! JANGAN PUTRIKU!" wanita itu histeris.

DORR!

DUGH!

Bersamaan dengan bunyi tembakan itu, wanita tadi memukul kepala lelaki tadi dengan vas yang ada di dekat tangannya. Selagi lelaki itu sibuk mengusap darah yang mengalir, wanita itu bergegas menghampiri putrinya. Balita itu terkena gorengan peluru. Lengan kanannya mengeluarkan darah.

Semakin histeris, tidak ada cara lain. Wanita itu menggulungnya dengan selimut tebal lalu menggendong putrinya yang bercucuran darah itu menuju pintu keluar.

Keadaan benar-benar kacau malam itu, tidak tahu darimana datangnya lelaki dengan pistol itu. Dan tidak tahu mengapa dia menyerang secara tiba-tiba.

DORR!

Pergerakan wanita itu terhenti sesaat. Rasa ngilu menembus dadanya. Peluru itu berhasil mengenainya.

"Sudah ku peringatkan kau sebelumnya. Pilihannya cuma 1. Kau atau putrimu yang akan kehilangan nyawanya." ucap lelaki itu.

Sial, tidak ada pilihan lain. Hidupnya sudah tidak akan lama lagi dengan peluru yang berhasil melukainya. Apalagi dengan darah yang tak kunjung berhenti itu.

Mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Wanita itu kemudian melemparkannya ke tembok dekat sana.

Sebuah asap tebal nan pekat mengepul bersamaan dengan benda itu terkena tembok, dengan sisa tenaga yang ada. Dia merobek aphrone yang masih ia gunakan lalu mengikat buntelan selimut itu dengan kuat. Ia berharap putrinya tidak akan meloncat keluar.

Ini sangat beresiko, dan keberhasilan akan minim apalagi dia berada di lantai 7. Tapi tidak ada pilihan lain. Dia tidak ingin putrinya terluka.

"Dengerin mama okey? Jangan keluar sebelum mendarat. Jangan teriak sebelum ada yang menemukanmu. Paham baby?" ucapnya.

Tidak ada jawaban di balik buntelan selimut itu, putrinya pasti sangat ketakutan di dalam sana. Wanita itu meneteskan air matanya sebelum akhirnya melempar buntelan itu ke bawah.

"Jaga dirimu Ana. Maaf mama dan papa tidak bisa menjagamu sampai besar." lirihnya.

DUARRR!!!!

Suara bom terdengar begitu keras. Apartement itu rubuh secara perlahan. Wanita itu berharap, semoga putrinya selamat dan tumbuh menjadi gadis baik.

Semoga saja.

"Maaf, Ana."

GABRIELLA [SEDANG REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang