Aku melepasmu Bian. Biarkan waktu menjalankan tugas terbaiknya.
Aku telah puas menangisi Bian dihadapan mama. Sekarang aku duduk di sofa bersama dengannya. Kami saling duduk bersama namun tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Rasanya memang banyak sekali sesuatu yang ingin aku ungkapkan padanya, tapi apalah daya bibirku sudah tak mampu lagi untuk menyebut namanya.
"Besok mama mau mengajakmu keluar sebentar, bisa?" Akhirnya mama memulai pembicaraan di antara kami.
"Aku tidak siap keluar jika keadaannya masih seperti ini," jawabku tidak minat dengan ajakan mama.
"Tapi mau sampai kapan, Ra?" Sekarang mama menggenggam tanganku. "Mama nggak mau kamu berlama-lama larut dalam kesedihan. Mama nggak bisa lihat kamu seperti ini terus, sayang," lanjutnya.
Aku hampir meneteskan air mata lagi. Tidak. Tidak lagi. Aku sudah berjanji dari dalam diriku jika aku hanya akan menangis sekali. Tapi, apa nyatanya? Hanya melihat sehelai foto saja hatiku sudah luluh lantak. Aku memang lemah. Apa rasaku ini salah? Tidak Dira. Jangan pernah menjadikan sedih ini sebagai alasan lemahmu. Lelaki bukan segalanya kan? Masih banyak kehidupan tanpa Bian yang harus ku selesaikan.
Aku pikir, ajakan mama ada benarnya. Mungkin saja aku akan mendapatkan sesuatu saat aku keluar. Atau lebih baik lagi jika aku bisa melupakan Bian.
"Emang kita mau pergi kemana?" Tanyaku sebelum mengiyakan ajakan mama.
"Rahasia donk!" Mama sangat bersemangat ketika aku menyetujui ajakannya.
"Ih mama apaan sih," gerutuku.
"Pokoknya kamu besok dandan yang cantik dan kita lupakan mantan kamu itu. Sejutu?"
Tentu saja aku setuju. Tentu saja aku mau jika itu bisa. Aku hanya mengangguk kecil dan menarik ujung bibirku agar terlihat sedikit tersenyum. Sungguh benar jika orang-orang mengatakan mama adalah malaikat tanpa sayap. Hanya dalam beberapa saat aku bersamanya, aku sudah bisa merasakan kehangatannya. Bahkan aku bisa kembali tersenyum untuk pertama kalinya setelah acara pernikahan itu.
Cuitan burung bersahut-sahutan di pagi hari. Layaknya manusia, mereka berbondong-bondong keluar dari sangkar untuk mencari makan. Matahari nampaknya bersinar terang, mungkin ia sedang dalam keadaan baik seperti hatiku saat ini yang mulai mencoba baik-baik saja.
Aku sedang menyirami tanaman, setelah sebelumnya aku tidak pernah memperhatikan kalau bunga-bunga yang mama tanam di pot-pot mini yang terletak di samping rumah begitu menyejukkan mata. Saking sibuknya aku bekerja, saking sibuknya aku dengan dunia luar sampai tidak memperhatikan hal-hal kecil yang mama jaga.
Menjadi dewasa itu rumit, karena kita tidak bisa lagi berdiam diri melepas tanggung jawab apalagi menyepelekan waktu. Semua hal meminta menjadi prioritas, padahal tangan manusia hanya dua. Mana bisa menjalankan semuanya dengan bersamaan.
"Ra, mobil udah kamu siapkan kan?" Teriak mama dari dalam rumah, derap sepatunya terdengar menuruni tangga.
"Sudah ma." Aku segera menyusul mama ke dalam rumah. Kulihat mama semakin cantik dengan kebaya yang dikenakannya.
Mama memang termasuk wanita yang unik, karena ia sangat suka menggunakan kebaya dalam keadaan apapun. Ya itu karena keluarga papa adalah orang asli Yogyakarta yang masih kental dengan budaya Jawa. Jadi, semenjak mereka menikah mama dibiasakan memakai kebaya.
"Yaudah jalan yuk!" Mama dan aku berjalan menuju mobil yang telah terparkir di depan rumah.
"Ma, memangnya kita mau kemana sih?" Tanyaku setelah mobil mulai melaju.
Mama tak langsung menjawabku, dia malah tersenyum seolah memberitahuku kalau tidak akan terjadi sesuatu yang buruk nantinya.
Baiklah kalau memang mama tidak ingin memberitahuku tidak apa-apa, gumamku pada diri sendiri. Aku mengalihkan pandanganku pada jendela mobil.
Tiba-tiba sepanjang jalan yang kulewati itu mengingatkanku pada Bian. Sosoknya seolah muncul dalam kaca jendela itu, menari-nari mengikuti lagu sambil menyetir mobil, kadang ikut bernyanyi meskipun suaranya sangat-sangat fals. Namun, aku jatuh cinta dengan caranya membuatku menjadi diri sendiri, dengan caranya membuatku bahagia. Itu dulu.
Bukan lagi air mata yang ku keluarkan, namun sudut bibirku menyunggingkan seulas senyum meskipun itu berat, sungguh berat.
Jalan ini Bian yang pernah menjadi saksi bisu perjalanan kisah kita, jika kamu melewatinya masihkah kamu akan mengingatnya?
Sekali lagi aku tersenyum, sambil mengelus dadaku.
Aku melepasmu Bian. Biarkan waktu menjalankan tugas terbaiknya.
Tak lama mama mengemudikan mobilnya, tibalah kami berdua di sebuah kafe yang sudah tidak asing lagi bagiku. Ya, tentu saja tidak asing. Ini adalah kafe tempat pertama yang aku dan Bian kunjungi. Ini juga menjadi kafe favorit kami berdua. Tapi sekarang tidak lagi. Kafe ini juga yang membuat hubunganku dan Bian kandas begitu saja. Ah sudahlah. Semua kan sudah berlalu. Saatnya aku menatap kedepan karena hidupku memang masih panjang.
"Ayo masuk!" Ajak mama sambil menggandeng tanganku dan merekahkan senyum indahnya. Aku tidak tega lagi jika harus menunjukkan ekspresi sedihku pada mama. Akhirnya kupaksa kedua sudut bibirku untuk tersenyum ke arah mama.
Kami berdua masuk dan tampak mama tengah mencari-cari seseorang. Matanya berputar mencari sosok yang ia kenal. Hingga akhirnya mama menemukan sebuah titik dan mulai melambaikan tangannya ke arah seorang wanita sebayanya yang sedang bersama seorang pria muda yang tampan. Mungkin.
Kami berjalan mendekat ke arah mereka dan tampak mama menyapa wanita ini terlebih dahulu. "Hai Tar, apa kabar?" sapanya sambil cipika-cipiki mesra.
"Baik." Wanita ini menatapku seolah ia mengenalku dengan baik. Lalu langsung saja dia menarik tubuhku untuk dipeluk olehnya. "Hai Dira sayang, kamu makin cantik aja,"
"Terima kasih, tante." Jawabku ramah. "Em, tapi tante emangnya kita pernah ketemu?" Aku benar benar bingung. Ia hanya tersenyum lalu mempersilakan aku dan mama duduk di hadapan mereka. Lalu pria ini? Siapa dia? Jka dilihat-lihat mungkin usiaku dan dia tidak terpaut jauh.
"Ini tante Tara, sayang. Temen SMA mama. Dan ini Gilang, anaknya." Mama memperkenalkan mereka berdua padaku. Baiklah, aku paham sekarang. Ini adalah teman SMA mama. Tapi, masih ada satu hal yang aku tidak paham di sini. Untuk apa anak dari teman mama ini ikut? Apa mungkin dia juga sedang patah hati sepertiku sampai-sampai orang tuanya juga mengajaknya untuk bertemu denganku? Entahlah, aku tidak tahu.
"Hai tante. Maaf tadi sempet nggak ngenalin tante," sapaku ramah dan memberikan senyuman termanisku. Aku lanjut megulurkan tanganku pada pria dingin ini. Sejak tadi dia hanya duduk sambil makan. "Indira," sapaku datar saat dia juga menjabat tanganku.
"Gilang," suara beratnya, pandangan tajamnya, sudah kupastikan dia bukan pria baik-baik. Tapi, siapa wanita yang mampu mengalihkan pandangannya jika ia setampan ini? Tapi, tampaknya manusia seperti ini memang tidak punya hati. Pantas saja dia patah hati. Pikirku.
"Uww, mereka cocok sekali ya, Tar," Teriak mama kemudian. Ada apa ini? Cocok? Siapa yang cocok dengan siapa? Jangan pernah bilang kalau ini perjodohan. Tuhan tolonggg, satu cinta saja sudah membuatku hampir mengakhiri hidupku. Belum sembuh rasa sakitnya, ditambah lagi dengan ini.
"Tunggu-tunggu. Ini apa sih maksudnya??" tanyaku spontan.
"Dira sayang, tante dengar dari mama kamu kalau akhir-akhir ini kamu agak kurang bersemangat. Jangan salah paham dulu, ini bukan perjodohan kok,"
Bukan perjodohan katanya? Lalu apa? Tuhan, kuharap memang bukan perjodohan. Kumohon. Hatiku belum siap untuk menerima siapapun sekarang.
Selamat Pagi Riders!!!😍🤩 Kok pagi? Hehe ya kan Dira bertemu dengan Gilang di pagi hari.😅 Gimana nih pagi-pagi udah dijodohin aja, hehehe. 😊😊Eh tenang dulu, bukan perjodohan kok, tapi perkenalan.
Aku juga mau minta komentar kalian tentang Gilang dongg!! Walaupun baru sekali dialog gimana nih pendapat kalian tentang Gilang, tulis di kolom komentar yaa!!😍 See u on new chapter guys!! 🤗🤗Happy Reading!!🤩🤩
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu yangMembawamu Pergi
Teen FictionBagiku, waktu itu sungguh kejam. Tanpa ampun dia membuat semua yang indah menjadi fana. Hanya butuh beberapa jam saja untuk merusak semuanya, namun butuh waktu bertahun-tahun untuk kembali membangunnya. Bagaimana hancurnya aku tanpa dia? Bagaimana...