Gencatan Senjata

11 1 0
                                    

Kita damai aja ya. Gue capek berantem terus sama lo.

Indira Velycia Hadiningrat

"Dira sayang. Bangun." Silau matahari membuat mataku mengerjap beberapa kali. Aku mendengar teriakan mama yang sedang menyibak tirai-tirai jendela di dalam kamarku.

"Anak perawan jam segini belum bangun. Mana ada jago yang mau matok nanti." Omel mama. Suaranya begitu nyaring di telinga. Membuatku semakin malas untuk bangun. Aku memiringkan badanku untuk menghalangi sinar matahari itu mengenai mataku.

Saat kubuka mata, mama sudah berdiri di hadapanku dan kedua tangannya sedang berkacak pinggang. Dia menatapku seolah-olah aku penjahat kelas kakap yang harus segera dihukum mati. Sebentar lagi perang akan dimulai jika aku tidak menuruti perintahnya.

Maka sebelum perang dimulai, aku segera bangkit dari tidurku tak lupa memberikan seulas senyum untuk meredamkan amarah mama.

Dengan malas, kusibakkan selimut yang sedari malam tadi menghangatkanku dari dinginnya angin. Kemudian aku berjalan lunglai menuju kamar mandi.

"Mama tunggu di meja makan. Gilang sudah menunggumu."

Mendengar nama Gilang membuat langkahku terhenti. Aku membuka mataku lebar-lebar. Sejujurnya aku malu, karena tindakan tadi malam. Iya saat aku menangis rapuh di depannya, itu terlihat sangat memalukan sekali. Apalagi aku menangis dipelukannya, pasti dia akan menjadi kepedean. Oh astaga, dia salah paham kalau mengira aku sudah mulai suka kepadanya. Bagaimana ini?

Kulirik jam didinding, masih pukul enam pagi dan ia sudah ada di rumahku. Ini terlalu pagi untuk mengajak jalan, lagian aku juga punya pekerjaan. Dia pasti juga punya pekerjaan, lalu ada urusan apa dia kemari?

Aku berbalik dan mendapati mama masih berdiri di sana. "Ma, untuk apa Gilang datang kemari pagi-pagi begini? Bukankah dia punya pekerjaan?" tanyaku dengan nada rendah, seperti orang yang berbisik.

Mama menghampiriku lalu membisikkan sesuatu di telingaku.

"Katanya, dia ingin memastikanmu tidak menangis seperti anak kecil yang tidak dibelikan es krim. Dan mulai sekarang dia akan mengantarmu ke tempat kerjamu."

"APA?" teriakku, lalu langsung kututup mulutku. Mama yang mendengar teriakku langsung menjauhkan wajahnya. Dia menyentil tengkukku dengan keras.

"Sstttt, mulutmu itu. Sudah kaya toa masjid saja. Bisa-bisa mama tuli, kalau setiap hari kamu teriaki seperti itu." Kulihat mama mengelus-elus telinganya.

"Iya maaf ma." aku mengelus tengkukku yang tadi di sentil mama.

Sialan si Gilang itu, paling bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan. Walaupun tadi malam dia sudah banyak menolongku, tapi bukan berarti aku akan langsung berlaku baik padamu wahai Gilang.

"Yaudah bilangin ke Gilang. Aku mau mandi dulu. Setengah jam lagi siap."

Mama kembali ke meja makan, sedang aku segera mandi. Sekitar setengah jam berlalu aku sudah siap untuk berangkat ke kantor.

"Ma, aku berangkat dulu ya." Aku menyalami mama dan mencium punggung tangannya. Gilang juga melakukan hal yang sama.

"Iya sayang hati-hati. Gilang, tante titip Dira ya. Kalau nakal marahi saja."

Dih mama apaan sih, sok melankolis. Memangnya aku ini masih kecil apa? Pakai di titip-titipin segala.

"Tanpa tante mintapun, Gilang akan melakukannya." Ucapnya dengan senyum yang mengembang. Dasar laki-laki, paling pintar mengobral kata-kata.

Waktu yangMembawamu PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang