KECEWA

6 2 0
                                        

Tidak ada kata benci diantara orang yang saling mencintai. Hanya ada kecewa sebagai penggantinya.

Reina

Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah hampir jam 6 malam tetapi mas Bian belum kelihatan batang hidungnya. Tidak biasanya dia pulang terlambat seperti ini. Apa dia sedang ada urusan pekerjaan tambahan?

Aku mengambil ponsel yang berada di atas meja ruang tamu, dengan sigap aku menelepon mas Bian. Nomornya tersambung, tetapi tidak ada jawaban darinya. Lalu aku mencoba menelepon lagi dan hasilnya tetap sama. Mas Bian kenapa membuatku menjadi khawatir seperti ini. Aku hanya takut terjadi sesuatu dengannya.

Aku mengelus perutku yang semakin membuncit, sudah tiga bulan dia ada disana. Masih tidak percaya jika aku telah menjadi isteri sahnya Mas Bian mengingat dulu sama sekali tidak ada tanda-tanda jika Mas Bian mencintaiku, dan yang paling kuketahui darinya adalah Mas Bian mencintai mbak Dira.

Mas Bian, adalah temanku dari kecil. Apa yang menjadi milikku adalah miliknya, apa yang menjadi miliknya adalah milikku. Dari kecil kita selalu berbagi, makanan, mainan, rumah, orang tua, dan juga kasih sayang. Dia selalu menganggapku sebagai adiknya, tetapi aku entah kenapa ingin lebih dari sekadar hubungan kakak dan adik.

Mungkin aku salah, karena memiliki perasaan yang lebih, tetapi aku bisa apa. Semakin aku mengelak semakin membesarkan pula perasaan ini. Kuketahui perasaanku kepada mas Bian saat ia mengatakan bahwa ia telah memiliki seorang kekasih, bahkan dia memperkenalkanku kepadanya.

Aku berusaha keras untuk baik-baik saja, dan berpura-pura bahagia di depannya. Seharusnya begitu. Aku ingin mas Bian bahagia, walaupun bukan denganku.

Tetapi perasaan perempuan gampang sekali ditebak, mbak Dira mencurigai gerak-gerikku. Walaupun berulangkali aku sudah menyangkal bahwa aku hanya menganggap mas Bian sebagai kakakku, tapi dia tetap saja merasa kalau aku mencintai mas Bian.

Setelah pertunangan antara mas Bian dan Mbak Dira, aku mulai menjauhi mereka berdua dengan tujuan agar aku bisa move on dari mas Bian, dan agar aku tidak mengganggu kehidupan mereka lagi.

Suatu ketika mbak Dira menemuiku, dia menanyakan sekali lagi bagaimana perasaanku kepadanya. Aku sudah tidak kuat lagi memendamnya, makanya aku mengatakan yang sejujurnya. Pun itu juga nggak akan berpengaruh apapun, karena mereka akan tetap menikah. Tanggal pernikahan telah ditetapkan.

Ketika aku berkata jujur, kupikir mbak Dira akan marah. Di luar dugaanku, dia justru bernafas lega, walaupun aku tahu ini menyakitkan.

"Sekarang gue tahu Rain, penyebab diamnya Bian. Penyebab berubahnya sikap Bian. Penyebab ragunya Bian untuk menikahi gue." Mbak Dira bersusah payah mengatakan itu, tetapi aku masih tidak mengerti apa maksudnya.

"Maksudnya mbak?" kutanyakan lagi.

Dia mengubah posisi duduknya menghadapku, lalu kedua tangannya menyentuh bahuku.

"Rain, selama satu minggu ini Bian menjadi orang yang sangat emosian. Dia sering uring-uringan, bahkan walaupun aku tidak melakukan kesalahan apapun."

"Waktu gue tanya alasannya kenapa, dia selalu menjawab nggak ngerti, dia merasa kehilangan sesuatu. Awalnya gue nggak tahu apa yang hilang sampai dia seperti itu. Sekarang gue tahu jawabannya. Rain." Mbak Dira tersenyum kearahku, meski di pelupuk matanya akan mengalir butir-butir air.

Waktu yangMembawamu PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang