Teman atau Calon Istri

12 2 0
                                    

Gilang emang suka gitu, nanti kalau kamu jadi isterinya harus sabar, harus bisa ngertiin dia, walaupun kelihatannya gitu, sebenarnya dia itu orangnya manja banget, tingkat kepekaannya tinggi, dan penyayang. Lihat tuh kucing aja dicariin apalagi kamu.

Hariku terasa begitu panjang. Aku seperti mendapatkan petuah yang benar-benar berharga. Sambil membereskan mejaku, Riki partner kerjaku berpamitan untuk pulang terlebih dahulu. "Dijemput siapa Ra?"

"Temen,"

"Yaudah gue duluan ya, o iya diluar hujan deres bgt, kalo temen lo belum dateng neduh aja dulu gapapa,"

Apa diluar hujan? Ya Tuhan! Cobaan apa lagi ini. Kalau hujan begini aku tidak yakin Gilang akan menjemputku. Aku takut pada hujan. Entah mengapa aku selalu merasa khawatir yang berlebihan saat turun hujan. Sekarang, tamatlah aku. Gilang pasti tidak datang. Aku lebih yakin kalau dia pulang dan lupa kalau menjanjikanku makan malam.

Aku berjalan lemas ke arah pintu keluar. Benar saja, di luar hujan deras. Saking derasnya, tampak seperti Tuhan sedang menumpahkan ber mil mil air dari langit. Sudah tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Hanya ada aku, hujan, gelap, dan dingin. Aku duduk di emperan kantorku sambil berharap Gilang akan datang. Tidak. Jangan berharap. Dia tidak akan datang. Tapi aku harus mengaharap kehadirannya karna aku takut.

Aku memeluk lutut dan menundukkan wajahku. Membenamkannya dalam-dalam. Hingga aku teringat kejadian ini pernah aku alami bersama Bian. Dulu dia pasti tetap akan menjemputku apapun yang terjadi. Bahkan badai pun akan dia lewati demi menjemputku. Dia tau benar kalau aku pobia pada hujan. Sudah Dira. Sudah. Untuk apa memikirkan suami orang lain. Bukan kah sudah ada Gilang?

Apa? Apa yang baru saja aku pikirkan? Aku barusan menyebut Gilang sebagai pengganti Bian? Ah tidak mungkin. Walau setitik rasaku tidak akan kuserahkan pada lelaki yang satu itu. Tapi, sekarang aku benar-benar mengharap kehadirannya. Kalau tidak, apakah aku akan semalaman di sini bersama hujan ini? Arghh ini mimpi buruk.

Aku mencoba mengangkat kepalaku. Kuputar pandanganku berharap ada sebuah keajaiban menghampiriku. Aku berharap tiba-tiba ada pangeran yang datang dan menjemputku dengan tulus dan dengan cintanya. Ah itu terlalu halu. Cukup ada mobil yang mampir dan aku bisa menumpang sudah sangat bersyukur.

Sepertinya tidak ada harapan apapun. Akhirnya aku membenamkan lagi wajahku dalam-dalam. Kurserahkan apapun yang akan terjadi setelah ini. Perlahan lahan kurasakan butiran butiran halus air yang membasahi kakiku. Ya Tuhan ini dingin. Pikirku dalam hati.

Aku mendengar suara sepatu mendekat ke arahku. Aku takut sekarang. Gilang tolong datanglah. Aku takut. Jangan jangan ini suara penculik lagi. Ya Tuhan aku tidak berani mengangkat kepalaku sama sekali.

Suara sepatu itu semakin mendekat dan aku semakin erat memeluk lututku. Tapi, tiba tiba aku merasakan ada sesuatu yang dikalungkan ke pundakku. Aku seketika mengangkat kepala. "Lo tu bego apa bodoh sih? Udah tau hujan, kenapa masih nunggu di luar? Lo kan bisa nunggu gue di dalem," ujarnya marah padaku.

Gilang. Ya Tuhan aku sungguh lega. Bukan orang jahat yang datang. "Lagian gue takut hujan sendirian di sini. Lo gatau gue pobia hujan?"

"Mana ada sih pobia hujan? Aneh lu," ledeknya.

"Lo ga percaya? Lo gatau sebersyukur apa gue pas lo dateng. Lo juga gatau kan baru kali ini gue berharap lo dateng." Aku benar-benar takut. Aku mulai menangis. Terserah dia akan percaya atau tidak. Jika yang ada disampingku ini Bian, dia pasti sudah membawaku dalam dekapannya.

Aku tidak menyangka Gilang ngelakuin hal yang sama. Dia membawaku kedalam dekapannya tanpa meminta persetujuanku. Tapi aku akan berserah padanya. Aku tidak tau lagi. Sekarang dekapan Gilang pun begitu hangat bagiku. Entah karena aku takut atau memang dia memberi pelukan tulusnya padaku, yang jelas aku nyaman berada di sampingnya sekarang.

Waktu yangMembawamu PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang