Part I - Meetings

2K 166 15
                                    

Sore menjelang malam di hari itu cukup dingin, salju sudah mulai turun ke jalanan yang sewarna bata itu. Tanjiro, anak muda berusia 17 tahun itu sedang sibuk menyapu lantai bakery keluarganya yang ia kelola. Mantelnya dan tas sudah siap di atas meja dekat kasir. Dikarenakan oleh musim dingin yang mendekat, toko-toko tutup lebih awal, termasuk Toko Roti Kamado. Satu per satu roti ia kembalikan ke ruang penyimpanan belakang, lemari es display dikunci dan beberapa roti yang akan kadaluarsa ia masukkan ke tas kertas untuk dibawa pulang. Beginilah rutinitas Tanjiro setiap harinya. Selesai bersekolah, Ia akan langsung pergi ke bakery untuk mengisi shift sore.

Melihat kembali roti-roti yang terjajar rapih di ruang penyimpanan, mengingatkan kerja keras Tanjiro dan ibundanya di dapur, di tengah malam mengolah adonan bersama. Pintu ia tarik dan kunci diputar. Tanjiro berputar ke kasir untuk mengunci penyimpanan uang. Seketika bel gantung di pintu terbuka berdenting, seseorang masuk ketika tanda 'tutup' di pintu sudah dipasang.

"Ah, maaf kami sudah tutup-"

Seorang pria tinggi, jauh diatas tinggi badan Tanjiro, berambut hitam pekat cukup bergelombang di ujung-ujungnya. Ia berdiri di ambang pintu dengan mantel hitam panjangnya dan syal berwarna abu. Tangannya mengenggam yang sepertinya secarik kertas. Tanjiro terdiam menatap pria di depannya. Matanya terasa kosong, otaknya berputar keras, seakan tahu siapa orang ini namun tak ada nama yang dapat terpikiran.

"-Tanjiro?"

"ah iya kenapa?- Oh! Maaf! Ada yang bisa saya bantu?"

Pria tinggi tersebut terdiam sejenak, lalu menutup pintu dibelakangnya. Syalnya dilepas sembari memberi kertas yang sejak tadi ia pegang ke pemilik bakery di hadapannya. Tanjiro membaca tulisan rapih di atas kertas kecil yang cukup kusut.

2 kotak melon pan, atas namamu saja, kutitip padamu untuk besok

Tanjiro kembali memandang pria (yang menurutnya tampan) tinggi di depannya. Tangannya pergi mengambil tablet pintar di laci kasir, mengecek sesuatu.

"Atas nama Tsukihiko ya?"

Tanjiro langsung merogoh satu gantungan berisi berbagai macam kunci dari saku celana kerjanya. Rupanya ruangan penyimpanan akan kembali ia buka.

"Saya kira anda tidak akan datang! Jadi pesanannya saya simpan di ruang penyimpanan."

Pintu ruangan itu kembali dibuka. Tanjiro buru-buru masuk ke dalam takutnya membuat pelanggan menunggu, apa lagi ini sebenarnya sudah jam tutup. Pria yang bernama Tsukihiko tersebut menyakukan kedua tanganya, memandang langit-langit toko dan seisinya. Lemari kayu yang dipoles sampai lembut berjajar rapi (walau kini sudah kosong), beberapa meja tertata didekatnya, dan beberapa yang dipasang diluar sudah dimasukkan ke dalam dan disusun dekat pintu masuk. Papan promosi berbagai macam jenis roti hingga kue yang ditulis tangan oleh kapur juga sudah bersandar di dinding sewarna moka.

"Hoo, tidak buruk."

"Apanya yang tidak buruk?"

Tanjiro jujur sedikit agak jengkel. Tanjiro 'sih sebenarnya tidak akan marah, tapi nada bicara pria kisaran umur 23 tahun ini terdengar seakan mengejek. Dua kotak melon pan ia masukkan dengan rapih ke tas kertas berwarna putih dengan aksen hijau pastel, ujung bawahnya dihiasi logo bakery turun temurun keluarganya. Bon belanjaan tanda pembelian juga ia sertakan di dalam tas kertas.

"Ini pesanannya. Mohon maaf menunggu"

Tsukihiko hanya mengangguk lalu mengambil tas kertas itu dari tangan Tanjiro. Tangan satunya kembali melingkarkan syal dengan benar lalu ia pergi ke ambang pintu. Sebelum kembali menutupnya, Tsukihiko kembali menoleh ke belakang, memandang wajah pemuda pemilik bakery. Mulutnya kembali terbuka, ingin mengatakan sesuatu namun niat itu ia urungkan. Tsukihiko hanya tersenyum kecil, mata Tanjiro terasa berbinar, ia langsung berposisi tegap, membalas senyumnya dan membungkuk sopan.

Tsukihiko Sensei ❤️ My Bread! [ MuzanxTanjiro ] Modern AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang