Part III - Annoyance

885 113 36
                                    

Sore itu Tanjiro tidak ikut berkumpul bersama teman-teman sekelasnya di café dekat SMA untuk mengerjakan tugas. 'Ya, karena tugas Tanjiro sudah beres. Ia kerjakan semuanya saat istirahat berlangsung. Terdengar ambisius, namun Tanjiro punya kewajiban lain; yaitu mengolah adonan untuk dipanggang esok hari.

Kreasi spesial untuk esok hari adalah roti isi krim. Berbagai botol pewarna makanan sudah berjajar rapih di meja ulen. Tanjiro masih sibuk memijat adonan hingga kalis, baru nanti akan ditinggal sekitar satu jam lamanya.

Tanjiro mengambil sedikit tepung dari bungkus kertas, menepuk-nepuk kedua tangannya lalu menyilangkannya ke atas; mencoba merelaksasikan tulang punggungnya yang terlalu lama dipakai menunduk; lalu kembali menguleni adonan.

Terkadang pada pukul 4 sore ini, Nezuko akan mampir, membawakannya cemilan kecil. Tapi untuk kali ini Nezuko absen membantu. Rokuta, adik mereka, sedang sakit flu. Maka dari itu Nezuko menjaganya sampai tertidur.

Nezuko sebenarnya sudah bersikeras mengabari kakaknya kalau dia aka datang membantu, namun Tanjiro menolak (dengan halus tentunya) Karena Rokuta dikenal bandel kalau disuruh beristirahat, maka dari itu Tanjiro menyuruh Nezuko menjaga adik mereka yang satu ini saja.

Ketika adonan sewarna krim itu tidak menempel pada kulit tangan, dan tak mudah rusak ketika ditarik, Tanjiro membentuknya menjadi bulatan besar dan menyimpannya dalam baskom, dan menutupinya dengan kain. Ia lalu menepuk-nepuk kedua tangannya ke kedua pahanya untuk membersihkan sedikit tepung yang menempel, lalu berfokus untuk membuat krim rotinya.

Sesuai dengan warna khas toko ini; hijau muda, Tanjiro memilih isian matcha yang juga sangat popular di hampir semua kalangan. Kie; ibunya, juga turut membantu Tanjiro memilih bubuk matcha paling baik, sehingga tidak akan mengurangi rasa kental-ringan yang khas ketika diolah menjadi krim.

Sebenarnya cukup melelahkan untuk melakukan semua ini sendirian, namun Tanjiro sudah terbiasa dengan ini. Setelah ayahnya tidak ada, Tanjirolah yang menjadi tumpuan kedua. Kie sudah tidak secekatan Tanjiro, usia menggerogotinya. Tanjiro mengerjakan semuanya dengan lapang dada, tak lupa rasa bahagia yang mengikuti di belakangnya.

Setelah krim sewarna rumput muda itu jadi, Tanjiro masih punya setengah jam untuk menunggu adonan roti yang ia olah tadi. Sembari menunggu, Tanjiro pergi mencuci kedua tangannya, melepaskan celemek kerjanya dan kembali mengeluarkan beberapa buku dari tas sekolahnya.

Besok ada ulangan fisika. Walaupun sibuk, Tanjiro tidak lupa untuk belajar. Apapun pengorbanan yang harus ia lakukan untuk keluarganya, Tanjiro juga masih harus mengejar ilmu setinggi-tingginya, mendiang ayahnya pernah berkata begitu padanya.

Terkadang Tanjiro sering merenung sendiri, berpikir apakah ia bisa melakukan semuanya sendiri. Mencari uang, bersekolah dan menjaga adik-adiknya. Semuanya terlihat cukup sulit untuk anak seumuran Tanjiro. Tapi ia punya banyak orang yang mendukung mereka. Ada Nezuko dan ibunya yang juga siap membantu.

Tanjiro selalu menancapkan, "jangan bersedih hingga larut malam". Frasa simpel yang ia selalu pegang setiap kali malam datang. Mimpi-mimpi mengerikan yang kadang kala mendatangi dan menghantuinya, semua terbalut dalam kesedihannya atas kehilangan ayahanda, namun Tanjiro akan terus melangkah maju dari itu semua.

Buku paket fisika itu ia bolak-balikkan. Mencoba mencari penyelesaian untuk soal latihan ulangan besok. Kedua mata merah delima itu kembali melirik-lirik ke buku catatan, mencari rumus yang tepat. Suara pensil mengetuk-ngetuk meja kayu, ditemani lampu temaram sewarna jingga di toko, inilah mungkin keseharian seorang Kamado Tanjiro.

.

.

.

Tsukihiko Sensei ❤️ My Bread! [ MuzanxTanjiro ] Modern AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang