"It's okay."
•••
Dua jam.
Kamu mendengarkan cerita yang mengalir dari bibir Yuta dalam diam, tidak ada niat sedikit pun untuk menginterupsi. Kamu mendengarkan dengan perasaan yang tak menentu. Banyak sekali pertanyaan yang singgah di kepalamu, tentang apa hingga bagaimana Yuta bertahan sejauh ini dengan bayang-bayang akan ucapan Ibunya yang kamu yakini masih melekat kuat.
Yuta kini terdiam. Menatap rerumputan sejauh yang ia bisa, tidak dapat dipungkiri ia merasa begitu lega. Sebagian bebannya terangkat begitu saja. Mungkin memang ini yang dibutuhkan olehnya, mungkin seharusnya ini yang dilakukannya sejak dulu. Yuta kemudian menoleh ke arahmu, mencoba memetakan ekspresi wajahmu. Ah, gadisnya kian muram setelah ceritanya selesai ia bagi.
Namun yang tidak Yuta tahu, saat ini kamu justru ingin menghambur dalam pelukannya. Memberi setitik tenang dalam gemuruhnya. Membiarkannya melepas segala yang ia rasa, membiarkan bahumu dan pelukmu setidaknya menjadi tempat hangat untuknya beristirahat.
Maka kamu melakukannya.
Kamu memeluk lehernya dan mengusap kepala belakangnya dengan lembut disertai bisikan-bisikan menenangkan. Entah bisikan ini berpengaruh atau tidak, tapi setidaknya kamu berusaha.
"Yuta, kamu sudah melakukan hal yang hebat. Kamu sudah berusaha sejauh ini, kamu berhasil melangkah sejauh ini. Bukankah itu hal yang luar biasa? Terima kasih sudah berbagi, aku tidak apa-apa jika itu yang sempat kamu khawatirkan. Yuta, terima kasih sudah menjadi anak yang kuat, kamu menakjubkan."
Dan Yuta menangis. Tangannya bergerak menarik tubuhmu kian rapat padanya, isaknya terdengar pilu. Kamu bersumpah ini pertama kalinya untukmu melihatnya menangis tersedu seperti ini. Rasanya menyesakkan.
Pemuda itu menumpahkan segalanya.
Cemasnya, takutnya, sakitnya, kecewanya, kalutnya, leganya.
Maka tangisnya ini begitu getir. Luapan amarahnya berganti menjadi isak yang pilu, mungkin sudah tidak dapat terbendung lagi.
Tidak apa-apa, tidak apa-apa untuk menangis.
- Akrasia -
"Maaf, bajumu basah karena air mataku. Apa aku menangis begitu banyak...?"
Kamu tertawa pelan lalu mengangguk. "Yah, cukup banyak. Sepertinya bahuku mati rasa..."
"Kalau begitu akan kubuat kedua bahumu mati rasa, aku akan bersandar lebih lama nanti," timpal Yuta disertai senyum mengejek.
Kini tatapanmu terpaku pada sebuah senyum yang terlukis di wajahnya. Senyum ini terlihat berbeda, kali ini rasanya begitu nyaman dan ringan. Setelah menangis tadi Yuta menarik napasnya dalam kemudian tersenyum, menggumamkan kata maaf yang begitu banyak hingga kamu kewalahan.
"Maaf aku sering menyakitimu."
"Maaf aku selalu membuatmu menangis..."
"Maaf aku selalu membuat luka di tubuh dan hatimu..."
"Maaf, maaf karena aku selalu mengulangi segala perbuatan yang buruk."
"Maaf kata-kataku selalu menyakitimu."
Dan puluhan kata maaf dengan alasan yang berbeda.
"Sepertinya aku akan membuat janji dengan seorang psikiater atau aku mungkin akan memulainya dengan konseling terlebih dahulu," ujarnya tiba-tiba membuatmu mengerjapkan kelopak matamu cepat.
Bukankah ini langkah awal yang bagus?
"Jika kamu nyaman dan memang ingin, lakukan."
Yuta tersenyum lalu mengangguk dan menarikmu ke dalam pelukannya. Ia menghidu parfum yang menguar dari tubuhmu, lembut sekali, Yuta merasa begitu tenang karenanya.
"Aku akan menebus segalanya, perlahan. Tunggu, ya?"
Kamu mengangguk dalam pelukannya.
"Selama apapun itu. Jangan khawatir, Yuta."
Ya, selama apapun itu.
Kamu akan menunggu.
- Akrasia -
Lama banget ya..... huhu akan kuselesaikan cerita ini secepatnyaa. Yang udah nunggu, makasih banyak!
Season Series - January 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
[Season Series] | Akrasia - Yuta Version
FanfictionHe always change, like every single time. He can be the softest person in the world, but in the next second, he became the scariest one. Just like the meaning of Akrasia, lack of self-control. Season Series Transitional Version - January 2019