Regards

256 73 6
                                    

"Thank you

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Thank you..."

•••

"Hitungan ke lima, jika kamu tidak juga melangkah menuju pintu maka aku—"

"Aku berharap hari Minggu-ku berjalan dengan tenang, aku tidak ingin ada latihan militer dadakan."

"Demi Tuhan, aku hanya memintamu untuk membasuh wajah dan menyikat gigimu, Namakoto Yuta!"

Kembali pria itu melirikmu dengan tajam walau kakinya melangkah begitu berat menuju wastafel kamar mandi. Ah, benar. Pemuda yang tadinya memendam banyak luka dan meninggalkan luka, kini menjadi pria-mu. Pria yang menikahimu tiga bulan lalu di musim semi yang begitu cerah. Tepat empat tahun setelah ia bebas dari seluruh luka juga rasa sakit yang membelenggu, Yuta langsung menghubungi Ibunya dan mengatakan bahwa ia akan melamarmu esok hari.

Terang saja hal tersebut membuat Ibunya terkejut setengah mati. Apakah ia kira menikahi anak orang lain hanya butuh cincin dan semangkuk sereal? Semoga Tuhan mengampuni dosa Yuta karena nyaris membuat sang Ibu terjungkal dari sofa hangatnya.

Proses pernikahan terjadi begitu cepat. Semua terlaksana dengan sederhana dan cantik, kamu selalu mengingat hari dimana Yuta tersenyum begitu lebar dan memamerkan cincin di jarinya dengan semangat kepada para tamu yang datang. Ia nampak seperti anak anjing yang bersemangat.

"Aku pikir wajahku membeku karena air begitu dingin, haruskah aku duduk di depan perapian?"

Pertanyaan Yuta menarikmu dari bayang masa lalu. Kini Suamimu berdiri di hadapanmu dengan setelah piyama yang berantakan juga bibirnya yang bergetar menahan dingin. Gemasnya!

"Jika kamu ingin, lakukan saja. Aku ingin pergi ke dapur, kamu butuh sesuatu?" kamu bertanya seraya menyugar helai rambutnya yang kusut.

Yuta mengangguk pelan. "Aku ingin sesuatu yang hangat," katanya dengan mata sayu. Nampaknya mencuci wajah di pagi yang dingin ini justru mendatangkan kantuk bagi pria itu. Karena begitu kamu berlalu, Yuta berlari menuju ruang tengah dan menggulung diri dengan selimut yang tersampir di sofa. Pria itu benar-benar bergelung di depan perapian.

Hari kelima belas di musim gugur, suhu menurun dan Yuta dengan segala akalnya menyalakan perapian walau menurutmu suhu di seluruh rumah baik-baik saja.

Kamu menghampiri Yuta dengan membawa dua gelas minuman hangat dan meletakkan salah satunya di dekat perapian. "Aku sudah membawa apa yang kamu butuhkan, sekarang keluar dari gulungan selimut—perhatikan pergerakanmu! Aku tidak ingin mengepel lantai hari ini!"

Yuta tertawa saat kamu menahan kakinya yang nyaris menyentuh gelas dan membuatnya tumpah. Ia memberikan cengiran lebar dan membubuhkan sebuah kecupan ringan di atas bibirmu, "dimengerti, Yang Mulia Istriku."

"Padanan katamu menyebalkan," kamu membalas dengan jengkel namun Yuta tahu ada rona merah samar di pipimu.

"Memang, tapi mampu membuatmu merona tuh," ledeknya. "Sebelum kamu melempar Suamimu ini dengan gelas, ada baiknya kamu mendengarku bicara."

Kamu mencebik pelan lalu mengangguk singkat. "Katakan."

Yuta menyesap minuman di gelasnya lalu meletakannya sedikit lebih jauh dari jangkauan kakinya. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Pria itu lalu duduk bersila menghadap ke arahmu yang kini balik menatapnya tepat di mata.

"Istriku—"

"Aku bersumpah akan melemparmu dengan apapun yang mampu kuraih jika kamu mengeluarkan rayuan tidak bermutu."

"Wow, itu kalimat terpanjang pagi ini. Baiklah, jadi, aku ingin berterima kasih padamu karena kamu mau menerimaku lagi, lagi, dan lagi. Walaupun aku dulu sering menyakitimu dan menyayangimu di waktu yang sama, yang mana aku tahu itu membuatmu bingung, tapi kamu masih ada di sana.

Sampai di mana kini kamu menjadi Istriku, aku bersyukur bahwa kamu masih mau menerimaku lagi. Terima kasih."

Kamu menangis secara tiba-tiba, membuat Yuta kewalahan karena ia perlu meraih gelas di tanganmu dan meletakkannya di samping gelasnya sebelum menarikmu dalam pelukan hangat. Tangisanmu kian menjadi ketika Yuta berbisik dengan lembut, puluhan kata sayang diucapkannya bagai doa.

"Yuta..." kamu masih tersedu dan melanjutkan, "Aku akan terus menyayangimu, tolong jangan meminta maaf lagi karena aku sudah memberimu sebanyak yang kamu minta dan itu sudah lebih cukup... Setelah ini aku akan memukulmu jika kamu masih meminta maaf untuk masa lalu!"

Suamimu tertawa. "Ya, baiklah. Mulai hari ini aku akan meminta maaf untuk ini!"

Ia menyerangmu dengan kecupannya yang dijatuhkan di seluruh permukaan wajahmu. Pria itu bahkan menggeram gemas ketika kamu tertawa dalam pelukannya setelah menyeka air mata di piyama bagian bahunya. Kecupan itu baru berhenti ketika kamu mendorong wajah Yuta menjauh.

"Aku masih—"

"Terima kasih juga karena mau memperbaiki hidupmu, Yuta," ujarmu sambil memberikan satu kecupan hangat di pipinya.

Sejenak Yuta termenung dengan mata berkaca-kaca, oh, nampaknya ia terharu. Maka kembali ia menyerangmu dengan kecupan, kali ini ia memberikan satu ciuman hangat di belah bibirmu sebagai penutup.

"Karena udara masih saja dingin, lebih baik kita bergelung bersama!"

Sepanjang hari itu dihabiskan dengan berbagi pelukan hangat dan kecupan ringan sesuai dengan ide dan keinginan Yuta.

- Selesai -

Note :

Halo!

Akhirnya buku ini sampe di bab penutup. Untuk yang pernah mampir, terima kasih banyak! Sampai ketemu lagi di buku selanjutnya yaaaa

- Akrasia -

Season Series - January 2019

Season Series - January 2019

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[Season Series] | Akrasia - Yuta VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang