"What have i done?"
•••
(TW : self harm, jangan ditiru ya teman-teman! Ini hanya kebutuhan cerita.)
Selayaknya seorang anak yang beranjak menuju masa remaja, Yuta pun mengalami fase dimana seluruh tubuhnya mulai terasa berbeda. Seperti gigi susunya yang kini menjadi gigi tetap, suaranya yang berubah menjadi lebih rendah, tubuhnya yang meninggi seperti anak yang kehilangan bobot tubuh aslinya, juga perubahan keinginan hati yang tidak daapt diprediksi.
Yuta hanya seorang remaja lelaki biasa. Yang ingin menghabiskan waktu dengan teman-teman dengan bermain sepak bola hingga petang, atau mungkin sekedar mengunjungi arcade game di siang hari bersama sekaleng cola dingin. Yuta ingin melakukannya lagi, namun sang Ibu selalu melarangnya dengan alasan ;
"Kamu sudah dewasa, bukan waktunya untuk main-main lagi."
Demi puding karamel, Yuta seakan kehilangan dunianya saat sang Ibu berpesan demikian. Sebagai gantinya, Yuta diwajibkan untuk belajar dan belajar, dengan harapan sang anak dapat mengikuti jejak sang Ayah yang selalu mendapat posisi pertama di sekolahnya dulu.
Empat tahun kemudian, sang Ayah menghembuskan napas terakhirnya saat Yuta tengah mengenyam pendidikan di tahun pertama sekolah menengah. Kejadian tersebut cukup membuat sang Ibu terpukul. Pasalnya sang Suami adalah panutan untuk keluarga kecilnya, sosok yang selalu memberikan keputusan terbaik untuk keluarga. Kini dirinya pergi. Lantas, bukankah ini saatnya Yuta yang mengambil alih sebagai kepala keluarga?
- Akrasia -
Kehidupan Yuta sebagai sosok pengganti kepala keluarga cukup membuatnya tertekan. Pasalnya, sang Ibu selalu memaksanya membuat keputusan.
Seperti, mengatur keuangan dari toko kelontong yang dikelola orang tuanya, bagaimana cara meningkatkan pendapatan dengan sumber daya yang terbatas, dan lain sebagainya.
Yuta tidak masalah. Demi Tuhan. Yuta sangat tidak masalah untuk membantu Ibunya dan memberikan sebuah keputusan.
Namun yang membuatnya tertekan adalah respon sang Ibu. Yang selalu terlihat meremehkan keputusan Yuta, selalu mencela, bahkan terlihat tidak puas sama sekali. Ada satu hari dimana Yuta membuat sebuah keputusan tentang menambah beberapa barang untuk dijual di toko kelontongnya. Dan respon sang Ibu jauh dari kata baik, seperti biasanya. Namun kali ini, pertanyaannya nyaris membuat seluruh kepercayaan diri Yuta menguap habis tak bersisa.
"Kamu yakin? Bagaimana jika toko ini justru bangkrut? Apa kamu sudah memikirkannya dengan matang? Inilah akibatnya karena kamu sering bermain! Kamu merasa hidup adalah permainan, dasar kepala keluarga tidak berguna!"
Yuta diam saat itu. Hanya diam mencerna serentetan kalimat Ibunya yang terdengar begitu menusuk. Jika dia memang tidak bisa membuat keputusan yang baik, kenapa bukan sang Ibu saja yang melakukannya? Kenapa harus dia? Di saat dirinya sudah melakukan yang terbaik, detik berikutnya dia pasti disalahkan tanpa sebab yang jelas. Apa dia benar-benar pembuat keputusan yang buruk?
Mulai detik itu, Yuta semakin ragu pada dirinya. Dia semakin merasa kecil, tidak berguna. Dan selalu merasa bahwa keputusan yang diambilnya salah.
Pemuda itu tumbuh dewasa dengan kepercayaan diri sebatas satu setengah persen. Semua keputusan yang dibuatnya tidak pernah dipikirkan dua kali, dia selalu memutuskan dalam jangka waktu pendek namun penuh keraguan. Dan berakhir marah pada dirinya sendiri.
Seperti saat dirinya bergabung dalam sebuah klub menyanyi untuk acara kelulusan. Yuta diberikan pilihan, menjadi vokalis utama atau sub vokalis. Dan Yuta, dengan seribu pertimbangan juga keraguan memilih untuk menjadi sub vokalis.
Lalu semenit setelah para anggota klub membubarkan diri, Yuta marah pada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak menjawab jika dirinya ingin menjadi vokalis utama? Lalu berakhirlah Yuta menyiksa dirinya sendiri dengan menyayat pergelangan tangannya dengan gunting kertas. Selalu seperti itu. Maka Yuta memutuskan untuk menutup diri, dari siapapun termasuk sang Ibu. Yuta juga tidak ikut andil dalam klub bernyanyi lagi.
Puncaknya adalah ketika dirinya masuk jenjang perkuliahan. Saat dirinya bertemu denganmu di awal masa pengenalan universitas, yang saat itu juga sama-sama tidak peduli pada sekitar. Yuta tahu bahwa gadis ini menarik perhatiannya. Terbukti ketika dirimu berteduh menunggu hujan reda, Yuta dengan santainya mengajakmu pulang bersama. Klasik. Setelahnya kalian menjadi dekat dan menjalin kasih.
Yuta bersumpah pada dirinya sendiri bahwa dirinya tidak akan pernah membuatmu menangis. Tidak akan pernah membuatmu kecewa dan terluka.
Namun kenyataan berbanding terbalik dengan ekspektasi Yuta. Dirinya lah penyebab semua luka di tubuhmu, dirinya lah penyebab matamu yang membengkak karena terlalu banyak menangis, dirinya lah yang membuatmu kecewa.
Seharusnya kamu pergi. Atau paling tidak, caci maki saja dirinya seperti yang sang Ibu lakukan dulu.
Tapi tidak, kamu selalu ada di sana. Berdiri dengan tangan terbuka walau Yuta menoreh luka berulang kali tanpa jeda.
Yuta bersyukur. Kamu bertahan untuknya. Jauh dari dalam lubuk hatinya, Yuta tidak ingin membuatmu menangis. Dia ingin memelukmu, menenangkanmu. Tapi yang dilakukannya justru membentak dan menyakitimu lebih dalam.
Apa yang dilakukan dan dikatakannya berbanding terbalik.
"Berhenti menangis! Kubilang berhenti!"
"Demi Tuhan, hatiku sakit saat air mata itu mengalir dari sudut matamu. Jangan menangis lagi, sweetheart..."Akan selalu seperti itu. Yuta dan segala kekurangan akan kontrol dirinya.
Yuta hanya mencari kepuasan diri. Dia menipu dirinya sendiri. Yuta hanya tidak ingin dikecam karena keputusannya lagi.
Yuta tidak sakit.
Yuta hanya tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.
Yuta mengalami akrasia.
Kurangnya kontrol diri.
- Akrasia -
Season Series - January 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
[Season Series] | Akrasia - Yuta Version
FanficHe always change, like every single time. He can be the softest person in the world, but in the next second, he became the scariest one. Just like the meaning of Akrasia, lack of self-control. Season Series Transitional Version - January 2019