"I'm here, for you."
•••
Tiga puluh tiga jam setelah perbincanganmu dengan Ten tempo hari, kamu mengajak Yuta pergi ke suatu tempat. Hanya berdua, seperti biasa. Dengan perbekalan yang kamu siapkan agar tidak perlu membeli makanan dan minuman lagi.
Yuta siap dengan kaus hitam lengan pendek yang dipadu kemeja hijau gelap dan jeans. Lengan kemejanya digulung asal, terlihat berantakan namun juga manis. Pemuda tampan itu menjemputmu tepat waktu, dan kalian berangkat menuju tempat pilihanmu dengan tenang.
Tidak banyak percakapan terjadi selama perjalanan, Yuta lebih banyak diam dan memperhatikan jalan. Tampak rileks. Berbanding terbalik denganmu yang tegang dan kepala yang penuh dengan pertanyaan.
Tiga puluh dua menit berlalu. Kini kamu dan Yuta sudah menapaki jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan. Kakimu membawa kalian menuju sebuah sungai kecil. Ada jembatan kayu yang terlihat lapuk di sana, juga pohon oak besar di dekat jembatan.
"Kita sampai!" seru mu senang. Kamu meletakkan tas ransel berisi bekal di dekat pohon lalu duduk di sisi lainnya seraya menarik Yuta untuk duduk di sampingmu.
Yuta tersenyum dalam diamnya. Kelopak matanya memejam erat menikmati semilir angin yang terasa begitu sejuk siang itu.
"Kenapa kamu tiba-tiba mengajakku ke sini?" tanya Yuta. Tubuhnya bersandar di batang pohon oak di belakangnya.
"Hanya ingin saja. Aku penat dengan segala tugas dan presentasi, menenangkan diri di sini tidak masalah, bukan?"
Yuta mengangguk setuju. "Tempat ini menyenangkan."
Kepalamu memilih untuk bersandar di bahu Yuta dengan kedua lenganmu yang turut melingkar manis di lengannya. Yuta kembali tersenyum, dadanya menghangat.
"Yuta..."
"Hm?"
"Aku selalu bingung dengan diriku sendiri. Terkadang aku selalu merasa sendiri, dan aku merasa bahwa dunia terkadang menghakimiku tanpa ampun walau aku tidak melakukan kesalahan apapun. Aku butuh tempat bersandar, aku butuh tempat berlari dan butuh tempat untuk meluapkan segala resah."
Yuta diam mendengarkan.
"Terkadang aku juga marah pada diriku sendiri, ketika aku menginginkan sesuatu, aku terlalu memikirkan konsekuensi yang belum tentu akan terjadi. Hingga akhirnya aku memilih pilihan yang bertolak belakang dengan keinginanku. Aku marah, melampiaskannya pada apapun agar aku tidak kecewa pada diriku sendiri. Aku harus apa?"
Awalnya tubuh Yuta menegang selama beberapa detik. Napasnya terdengar tidak beraturan, namun dengan cepat Yuta menguasai dirinya. Kini kekasihmu membuka matanya dan tersenyum menghadapmu. Tangannya terulur, menepuk pucuk kepalamu lembut.
"Bersandar padaku, ceritakan semuanya, mintalah sebuah pelukan, atau lakukan apapun yang akan membuatmu merasa lebih baik dengankuㅡ"
"Lakukan juga."
"ㅡapa?"
Kamu menggenggam tangan Yuta erat, mengusap punggung tangannya dengan ibu jarimu.
"Bersandar padaku, Yuta. Ceritakan semuanya yang membuatmu merasa tercekik, jika kamu menginginkan pelukan, maka aku akan memberikanmu sejuta pelukan paling nyaman. Lakukan apapun agar kamu bahagia, jangan takut mengungkapkan apa yang kamu inginkan. Yuta, kamu tidak perlu ragu."
Kamu pikir, Yuta akan mencengkeram pergelangan tanganmu. Kamu pikir, Yuta akan mengataimu yang bicara selayaknya orang kehilangan akal. Kamu pikir, Yuta akan marah.
Namun rupaya spekulasimu yang tidak berujung itu salah.
Yuta menangis. Tersedu dengan kepalanya yang bersandar di bahumu.
Dan siang itu, mengalirlah sebuah cerita.
Tentang Yuta.
- Akrasia -
Season Series - January 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
[Season Series] | Akrasia - Yuta Version
Hayran KurguHe always change, like every single time. He can be the softest person in the world, but in the next second, he became the scariest one. Just like the meaning of Akrasia, lack of self-control. Season Series Transitional Version - January 2019