Chapter 9

58 8 0
                                    

Keesokan harinya adalah hari pemakaman Naruko. Karena Naruko adalah anak yatim piatu dan tak memiliki siapapun lagi, jadi ayah (Fugaku) memutuskan untuk mengurus semuanya. Atas nama klan Uchiha, ayah mengurus seluruh prosesi pemakaman Naruko dari awal hingga selesai.

Proses pemakaman berjalan lancar dan penuh hikmat. Beberapa doa turut menyertai proses pemakaman Naruko. Aura kesedihan dan rasa kehilangan menguar pekat memenuhi area pemakaman.

Meskipun proses pemakaman Naruko telah selesai dan para pelayat telah kembali ke rumah masing-masing, namun tidak dengan ku yang masih setia berdiri memandang gundukan tanah makam Naruko.

Ditemani oleh Sasuke dan Shisui yang setia ada di samping ku. Sementara ayah dan ibu baru saja pulang beberapa saat yang lalu. Aku, Sasuke dan Shisui kami bertiga masih setia berdiri dalam diam memandang tanah makam Naruko.

"Jika saja hari itu aku tidak pulang lebih dulu" batin Sasuke memandang nanar makam Naruko.

"Jika saja hari itu aku menemani mu pergi ke toko buku" batin Sasuke lagi.

"Jika saja hari itu aku setuju untuk pulang bersama" batin Sasuke lagi dan lagi.

"Mungkin semua ini tak akan terjadi. Mungkin kau tak akan mengalami kecelakaan. Mungkin kau masih disini sekarang. Jika saja aku bisa mengulang waktu, mungkin..." batin Sasuke memandang nanar makam Naruko.

Jika saja dan mungkin, dua kata yang terus Sasuke sesali dalam hatinya. Seandainya waktu bisa diputar kembali, mungkin takdir akan sedikit berbeda.

Tapi semua sudah terjadi, Naruko telah pergi sekarang dan menyisakan penyesalan tersendiri bagi Sasuke. Sebuah rasa penyesalan yang tak bisa ditebus dengan apapun.

"Maafkan aku Naruko, maaf" batin Sasuke benar-benar menyesal.

"Aku berani bertaruh bahwa kata yang paling sedih adalah maaf" batin Sasuke menangis dalam hati.

(Skip time...)

Malam hari setelah kematian Naruko, aku (Itachi) hanya bisa termenung memandang langit malam tanpa bintang dari balik jendela kamar ku.

Melihat malam yang tampak begitu gelap dibanding hari-hari sebelumnya dan akan selalu tampak gelap bagiku. Tak peduli seberapa terang bulan menerangi bumi, bagiku tak ada artinya. Karena mulai saat ini hanya kegelapan yang akan selalu ku lihat.

Sambil memegang kotak barang peninggalan Naruko, malam ini ku buka kembali kotak tersebut. Sekali lagi ku lihat seragam Naruko yang berlumuran darah, sepatu dan tas sekolah yang selalu Naruko kenakan dan sebuah buku yang masih terbungkus sampul plastik bening.

Sebuah buku fashion kesukaan Naruko. Buku baru yang Naruko beli terakhir di toko buku sebelum Naruko mengalami kecelakaan. Perlahan ku ambi buku tersebut dan membuka sampul plastiknya. Ku buka dan ku lihat isinya lembar demi lembar.

Hingga kemudian di akhir halaman ku lihat sebuah halaman kosong yang biasa digunakan untuk menulis sebuah catatan kecil bagi si pemilik buku. Sejenak aku berfikir dan kemudian ku ambil sebuah pena dari tas sekolah Naruko dan membubuhkan beberapa goresan di lembar catatan halaman terakhir buku. Dengan tulisan...

(Aku berani bertaruh bahwa kata yang paling sedih adalah Sayonara...)

"Hiks Naruko" isak ku setelah selesai menulis. Begitu sakit saat tiba-tiba aku teringat dengan Naruko.

Selama proses pemakaman Naruko, aku sama sekali tak menangis bahkan ketika peti mati Naruko telah tertimbun tanah aku juga tak menangis.

Namun kini ketika angin berhembus dingin dan malam yang terasa sepi tiba-tiba aku teringat akan Naruko.
Untuk sesaat aku kembali menangis kala mengingat semua tentang Naruko.

(Skip time...)

Beberapa hari setelah kematian Naruko, suasana sedih masih terasa begitu kental. Entah kenapa kepergian Naruko bisa menyisakan luka yang begitu sakit.

Hampir setiap hari aku selalu mengunjungi makam Naruko. Duduk diam hingga berjam-jam hanya untuk memandangi makam Naruko. Kemudian di sore hari aku akan pergi ke lapangan baseball tempat dimana Naruko berpamitan padaku.

Begitulah rutinitas baru ku setelah kematian Naruko. Aku hanya ingin selalu dan selalu mengingat Naruko dengan tak membiarkannya hilang dalam ingatan dan kebiasaan ku.

Sama seperti sore ini, saat matahari mulai beringsut tenggelam aku masih duduk diam di tepi lapangan baseball. 
Sudah beberapa menit sejak para anak-anak yang tadi bermain baseball pulang ke rumah masing-masing karena hari sudah mulai sore.

Tapi tidak dengan ku yang masih setia duduk di tepi lapangan sambil memandang matahari berarak tenggelam di ufuk barat. Semua tentang Naruko begitu sedih seperti warna matahari senja sore ini yang berwarna oranye.

Sementara itu ditempat lain tampak Shisui sedang berjalan menyusuri sebuah jalan setapak menuju ke suatu tempat.

Tap tap tap...

Tap tap tap...

Dengan langkah pelan Shisui berjalan dalam diam.

Tap tap tap...

Tap tap tap...

Shisui terus berjalan sambil sesekali melihat ke sisi kanan dan kiri untuk mencari seseorang.

"Hah kemana lagi aku harus mencari. Bahkan di area pemakaman juga tak ada" gumam ku (Shisui) mulai kebingungan.

Hari sudah sore dan sebentar lagi petang akan datang. Bibi Mikoto menyuruh ku untuk mencari putra kesayangannya Itachi. Tapi sampai kaki ku pegal begini, aku masih belum menemukan keberadaan Itachi.

Padahal aku sudah mencarinya kemana-mana bahkan di area pemakaman Naruko tempat biasa Itachi *nongkrong* tetap tidak ada.

Dan sekarang kaki ku mulai lelah berjalan kesana-kemari, mencari tak tentu arah dan tak menemukan hasil. Belum lagi hari sudah mulai petang.

Ingin rasanya aku pulang saja karena lelah mencari toh tak ada hasilnya. Tapi saat aku mengingat raut khawatir bibi Mikoto, akupun mengurungkan niat dan memutuskan untuk mencari Itachi kembali.
Toh terlepas dari semua itu, Itachi adalah sahabat baik ku sejak lama.

"Ck kenapa juga Itachi tak membawa ponselnya" gerutu ku masih terus berjalan entah kemana.

Hingga tiba-tiba saat aku sampai di dekat lapangan baseball, aku melihat seseorang yang sedang duduk sendirian di tepi lapangan.

"Tidak salah lagi, itu pasti dia" ujar ku ketika melihat siluet Itachi.

Tanpa membuang waktu lagi, aku bergegas menghampiri Itachi. Tapi saat aku sudah dekat dengan Itachi dan ingin memanggil namanya tiba-tiba saja aku terdiam mengurungkan niatku.

Untuk sesaat aku memaku diri menatap Itachi yang tampak begitu sedih. Duduk sendiri di tepi lapangan sambil memandang matahari terbenam sungguh sangat menyedihkan bagiku.

Dilihat dari manapun Itachi tampak seperti orang yang telah kehilangan semangat hidup. Dan sungguh baru pertama kali ini aku melihat Itachi begitu sedih dan terpukul atas kepergian orang lain dalam hidupnya.

"Kematian Naruko benar-benar membuat mu kehilangan semangat hidup" gumam ku melihat Itachi terdiam sedih.

Sebagai sahabat tentu aku merasa sedih pula melihat Itachi seperti itu. Dan tentunya aku harus melakukan sesuatu agar Itachi tak larut dalam kesedihannya.

"Dulu kau pernah mengulurkan tangan mu padaku, sekarang saatnya aku yang mengulurkan tangan padamu. Bertahanlah Itachi" batin ku dalam hati.

Setelah membuat keputusan dalam hati, akupun lekas berjalan mendekat kearah Itachi berada.

"Hoy Itachi!" seru ku agak keras memanggil namanya.

Merasa namanya dipanggil, Itachi segera menoleh ke arah sumber suara. Namun setelah menemukan sang sahabat yang ternyata memanggil, Itachi hanya diam tak menyahut.

"Sa-yo-na-ra"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang