DUA PULUH EMPAT

14.2K 919 35
                                    

Elmar mematikan laptop ketika waktu sudah menunjukkan pukul lima sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Elmar mematikan laptop ketika waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Tidak ada lembur di kantor. Kepada semua pegawai, Elmar sudah mengatakan dengan jelas. Bekerja memang penting, tetapi memiliki kehidupan di luar pekerjaan tidak kalah penting. Bersama keluarga. Bersama teman. Ponselnya berbunyi ketika dia sedang menutup pintu ruangannya. Belakangan Alesha sering sekali meneleponnya. Bukan Elmar keberatan, tapi Alesha lebih banyak mengeluh.

Minggu lalu mereka sudah bicara dengan Dokter Laura. Katanya yang paling dibutuhkan Kaisla adalah kestabilan. Kalau memang Alesha dan Elmar menikah, sebaiknya pernikahan tersebut berlangsung lama, sangat lama kalau perlu. Supaya Kaisla tidak menghadapi kehilangan lagi. Karena Kaisla baru saja ditinggalkan ibunya, setelah sebelumnya disakiti. Dokter Laura berharap Alesha mampu memberikan perhatian dan kasih sayang yang selama ini dicari Kaisla dari seorang ibu. Masih menurut Dokter Laura, Kaisla mulai bisa membedakan ada dua macam ibu di dunia ini. Yang suka menyakiti seperti mummy-nya dan yang baik seperti mamanya Mara.

"Halo." Elmar menerima panggilan Alesha, sambil mengangguk membalas sapaan salah satu engineer yang berpapasan dengannya. "Jangan mengeluhkan baju lagi, Alesha. Kamu boleh menikah memakai lab coat-mu yang warna pink itu dan sandal jepit kuning kesayanganmu di hari pernikahan kita. Bagiku kamu tetap pengantin wanita tercantik di dunia."

"Kamu sebel sama aku ya, Elmar? Ya sudah, kalau gitu, aku nggak jadi ngomong."

"Bukan sebal, Alesha." Elmar duduk di sofa di lobi. "Hari ini kamu mengeluhkan hal-hal tidak penting. Kamu mau ngomong apa? Aku harus buru-buru ke rumah sakit."

"Kamu belum belikan baju buat Kaisla."

Elmar memijit pelipisnya. "Aku lupa. Tapi dia punya banyak baju bagus dan...."

"Belikan malam ini, Elmar. Aku nggak main-main. Aku nggak mau dengar alasan kenapa Kaisla nggak pakai baju baru saat ayahnya menikah nanti."

"Aku tidak ada waktu malam ini, Alesha. Kenapa tidak kamu saja yang belikan?"

"Karena urusanku masih banyak, Elmar. Bantu aku sedikit dong."

"Kita bisa membuat pernikahan ini lebih sederhana."

"Mama dan Papa akan menikahkan anak perempuan mereka satu-satunya. Sudah lama mereka menunggu-nunggu hari itu. Mereka menginginkan yang terbaik untukku. Untuk hari istimewaku. Walaupun kita menikah di tengah kesedihan, besok lusa tetaplah menjadi salah satu hari terpenting dalam hidupku. Hari yang akan kuingat sepanjang hidupku. Aku akan menikah untuk pertama kali. Sikapmu yang nggak peduli dengan persiapan pernikahan kita nggak bisa kuterima, El. Kamu menganggap pernikahan kita adalah peristiwa yang biasa saja.

"Sekali saja kamu nggak pernah menanyakan apa yang kuperlukan, yang kita perlukan besok lusa. Sekali saja kamu nggak pernah menanyakan apakah persiapannya sudah selesai. Kuminta pendapat desain undangan, kamu bilang terserah. Apa saja kamu jawab terserah. Aku tahu kamu menikah denganku hanya untuk memenuhi permintaan ibumu. Asalkan kita punya surat nikah, maka kamu sudah menunaikan baktimu kepada ibumu. Lain-lain bagimu nggak penting lagi. Kamu pikir komentarmu soal aku menikah memakai lab coat itu lucu? Sama seperti semua wanita di dunia, aku juga ingin memakai baju pengantin yang indah di hari pernikahanku.

"Sejak kecil aku sudah membayang-bayangkan bagaimana jadinya kalau aku menjadi pengantin. Berdiri di pelaminan bersamamu. Sekarang aku punya kesempatan untuk mewujudkan impian masa kecilku dan kamu dengan mudahnya mengecilkan mimpiku dengan menyuruhku menikah memakai lab coat dan sandal jepit?"

"Alesha, aku hanya bercanda...."

"Ini bukan waktunya bercanda, Elmar," potong Alesha. "Kalau aku nggak punya hati, aku tega mempermalukan kedua orangtua kita, aku akan membatalkan rencana pernikahan ini. Untuk apa aku menikah dengan laki-laki yang nggak bisa menghargai mimpi dan harapanku?"

Sebelum Elmar sempat membuka suara, Alesha sudah lebih dulu mengakhiri panggilan.

***

Dengan sepenuh hati dan jiwa Alesha mempersiapkan hari pernikahannya. Meskipun tanpa pesta besar seperti milik Edna dan Alwin dulu. Karena seluruh anggota keluarga tidak akan bisa bergembira ketika Mama Silvia tengah berjuang melawan penyakit. Alesha tetap ingin memiliki hari yang pantas dikenang oleh mereka semua. Hari yang akan menjadi penanda dimulainya kehidupan baru. Tidak hanya bersama suami, tapi juga anak mereka.

Bukankah Elmar menyatakan dirinya menjunjung tinggi kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan? Kenapa sekarang dia bersikap seolah-olah menyiapkan pernikahan adalah tanggung-jawab perempuan saja? Mungkin ada perempuan yang justru senang pasangannya tidak cawe-cawe mengurus undangan, kue, suvenir dan sebagainya. Dengan begitu dia bisa mengontrol segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. Tetapi tidak dengan Alesha. Sikap acuh tak acuh Elmar hanyalah menunjukkan bahwa bagi Elmar besok lusa tidak ada beda dengan hari lainnya. Atau pernikahan ini tidak akan banyak mengubah hidupnya. Tidak berarti apa-apa.

Dari beberapa cerita, Alesha tahu seperti apa pernikahan Elmar dengan Jossie dulu. Sangat menyedihkan. Disiapkan dengan terburu-buru dan serampangan. Terkesan tidak niat. Yang penting menikah dan gugur kewajiban untuk mengumumkan pernikahan tersebut. Sampai Alesha merasa kasihan pada Kaisla, yang mungkin kelak menyadari pernikahan ayah dan ibunya tidak didasari kebahagiaan. Pantas saja Jossie depresi dalam pernikahannya. Mungkin Elmar ada andil dalam menjatuhkan mental Jossie. Dengan tidak menyediakan resepsi yang layak dikenang.

Sudahlah. Siapa yang peduli Elmar memaknai pernikahan mereka seperti apa. Lusa Alesha tetap akan tampil secantik-cantiknya. Menjalani satu hari istimewa tersebut dengan sebaik-baiknya. Terserah kalau Elmar mau muncul memakai sarung dan kaus singlet. Elmar tidak datang pada resepsi yang sudah dirancang oleh Alesha dan kedua orangtuanya pun tidak masalah. Kalau ditanya orang, tinggal bilang Elmar sedang berbuat bodoh.

Kalau Elmar tidak mau mensyukuri pernikahan mereka dengan cara berbagi kebahagiaan bersama orang lain, Alesha juga tidak akan ambil pusing. Lusa adalah tentang dirinya, bukan Elmar atau siapa pun. Toh, memang Alesha yang repot mengurus ini dan itu. Elmar tidak punya hak untuk ikut memotong kue pengantin mereka, karena ketika Alesha bertanya ingin kue rasa apa, Elmar juga menjawab 'aku ikut saja yang terbaik menurutmu'. Terserah versi lain.

Pintu kamar Alesha diketuk tiga kali, kemudian suara Alwin terdengar. "Are you decent?"

"Yeah!" Setelah Alesha menjawab, Alwin masuk ke kamar menggendong Rafka. Diikuti Mara di belakangnya. Begitu diturunkan di tempat tidur, Rafka merangkak ke pangkuan Alesha. Sedangkan Mara bergerak menuju meja rias dan memeriksa makeup dan aksesoris milik Alesha.

"Al?" tanya Alesha saat kakaknya menarik di kursi. "Gimana rasanya menikah?"

"Melelahkan." Alwin mengambil teething toy yang baru saja dilempar Rafka ke lantai, mengelap dengan kausnya, lalu menyerahkan lagi kepada anaknya. "Sangat melelahkan. Satu detik aku sibuk memikirkan bagaimana caranya membahagiakan orang yang paling kucintai. Bagaimana menunjukkan cintaku padanya. Detik berikutnya aku memikirkan berbagai cara untuk membuatnya semakin mencintaiku dan hanya mencintaiku.

"Sekarang sudah ada anak-anak. Setiap saat aku seperti sedang mempersiapkan diri untuk mati demi mereka. Tapi, meskipun berat, aku tetap ingin menjalani hidup seperti itu. Tidak mau menukarnya dengan kehidupan yang lain."

"Aku takut." Alesha membenamkan wajahnya di rambut Rafka.

"Wajar. Aku dulu juga begitu sebelum menikah." Alwin duduk di kursi.

"Kamu?" Bibir Alesha membulat tidak percaya. "Takut menikah? Heck, aku nggak tahu kamu bisa merasa takut."

"Pernikahan akan mengubah hidup kita. Semua manusia di dunia ini tidak suka, atau takut, menghadapi perubahan. Kita hanya menginginkan perbaikan dan peningkatan."

***


A Wedding Come TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang