"Shil?" Erina tiba-tiba duduk di samping meja Shilla dan memerhatikan ekspresi sahabatnya yang tengah bingung.
"Ah? Iya? Kenapa?" Tanya Shilla, ia baru tersadar dari lamunannya.
"Kamu melamun terus. Ayo, jangan terus-terusan bersedih. Nanti kita makan yang banyak." Hibur Erina.
"Bukan gitu, Rin. Masalahnya semalam itu...aku yakin aku ketiduran dan belum sempat menjawab pesanmu ataupun Gilang." Ujar Shilla.
"Hmm bisa saja Bi Asih? Beliau kan sering pergi ke kamarmu." Ucap Erina.
"Iya, aku lupa bertanya pada beliau tadi pagi. Nanti pulang akan aku tanyakan." Ucap Shilla.
"Ya sudah, lanjutkan pekerjaanmu. Nanti bos melihat kau yang sedang melamun, bisa-bisa jabatanmu ditarik." Bisik Erina. Shilla tertawa kecil dan mengangguk.
Erina kembali ke tempatnya dan bernapas lega. Setidaknya ia telah memastikan bahwa Shilla tidak sedang melamun karena sedih.
Shilla melakukan hal yang sama dengan Erina. Ia kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Hingga ia mengingat satu hal yang membuat kedua tangannya berhenti bekerja.
"Bukannya tadi aku mengunci pintu? Lalu, bagaimana caranya Bi Asih masuk?" Pikir Shilla bingung.
Tiba-tiba, seseorang memegang pundak Shilla hingga gadis itu terlonjak kaget.
"Hahaha, kaget banget, Shil? Melamun lagi, hm?" Tanya Arka.
"Ah, Arka. Kau mengejutkanku." Ujar Shilla kesal.
"Maaf, aku tidak sengaja." Ucap Arka.
"Ah, tidak apa-apa. Ada perlu apa denganku?" Tanya Shilla.
"Hmm aku turut berduka mengenai Arvin." Ujar Arka dengan wajah murung.
"Iya, terima kasih. Kuharap Arvin tenang di sana." Ucap Shilla seraya tersenyum.
"Iya, dia adalah pria yang sangat baik. Aku menyesal tidak mengenalnya secara dekat." Ucap Arka.
"Iya, dia memang sangat baik." Shilla mengangguk.
"Oh iya, nanti kau pulang dengan siapa? Boleh aku mengantarmu?" Tanya Arka.
"Aku sudah ada janji dengan Erina dan Gilang." Ujar Shilla. Arka menampilkan ekspresi sedih.
"Yah...padahal aku sangat ingin mengantarmu. Janji ya lain kali?" Tanya Arka. Shilla mengangguk.
"Iya."
"Baiklah. Kalau begitu, selamat bekerja lagi, senior." Ujar Arka seraya mengedipkan sebelah matanya. Shilla hanya tersenyum menanggapi.
"Ada apa dengan Arka? Kenapa tiba-tiba mendekatiku seperti ini?" Batin Shilla.
°°°
"Astaga...kalian memesan sebanyak ini?" Ujar Shilla. Ia menatap meja yang penuh dengan makanan.
"Yap! Kita harus makan yang banyak agar sedihnya hilang. Bukan begitu, Rin?" Tanya Gilang. Erina mengangguk semangat.
Shilla hanya bisa pasrah dan makan semampunya. Kalau makan adalah solusi yang ampuh untuk melupakan Arvin, maka ia bersedia untuk makan sebanyak-banyaknya.
Setelah acara makan-makan selesai, Shilla pulang ke rumahnya. Ia diantar oleh Gilang hingga depan rumah. Laki-laki itu ingin memastikan bahwa Shilla sampai rumah dengan selamat. Mengingat psikisnya yang bisa saja terganggu akibat insiden kemarin.
"Nona Shilla sudah pulang? Mau bibi siapkan makan?" Tanya Bi Asih.
"Tidak, Bi. Shilla baru saja makan dengan Erina dan Gilang. Shilla ingin langsung tidur." Ujar Shilla. Bi Asih mengangguk dan kembali ke dapur untuk mengurus masakannya yang hampir selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen
Teen FictionShilla tidak percaya dengan apa yang tidak terlihat. Namun, pemikirannya berubah setelah kejadian mengerikan itu terjadi padanya. Berkat yang tidak terlihat itulah, kini Shilla tetap bisa hidup dengan tenang tanpa gangguan apapun.