Thira mengerjapkan matanya. Ia tak boleh terlalu larut dalam keadaan seperti ini: melamun dibalkon kamar memikirkan apa yang seharusnya tak ia pikirkan membuatnya benar-benar merasa sendiri. Thira masuk ke kamarnya tak lupa mengunci pintu kaca balkon kamarnya.
Thira merebahkan tubuhnya dikasur lantainya. Ia tersenyum getir melihat keadaannya sendiri. Orang tuanya yang kaya pun bahkan tak memberikan fasilitas yang baik. Jangankan fasilitas, ia bahkan tak pernah memakan apapun yang ada dirumah ini. Ia cukup sadar diri sudah dianggap menumpang dirumah ini. Thira menatap sekeliling kamarnya: kamar yang hanya berdinding polos tanpa cat, keranjang kecil tempat ia meletakkan baju-bajunya, buku-buku yang tersusun rapi dilantai, kasur lantai yang senantiasa menjadi teman tidurnya, tak lupa kipas angin yang kecil disamping kasurnya. Mungkin orang lain akan beranggapan ini kamar pembantu. Bahkan kamar pembantu dirumah ini lebih baik dari pada kamarnya. Sangat miris, pikirnya.
"THIRAA!!" Teriak Dira dari luar pintu kamar Thira.
Thira bangkit dan membuka pintu. Setumpuk pakaian kini sudah dilempar padanya.
"Kamu cuci! Mesin rusak. Bi Sri gak ada dirumah! Saya mau besok sudah bersih dan digosok!" Ucap Dira lalu berbalik meninggalkan Thira.
Thira menyeka air matanya. Ia kemudian memunguti pakaian kotor milik orangtuanya yang berjatuhan dilantai.
'Kamu harus kuat Thira!' Semangatnya dalam batin.
Thira menutup pintu kamarnya dan pergi menuju kamar mandi untuk mencuci pakaian sesuai perintah Dira. Ia menyempatkan untuk melihat jam yang betengger di dinding kamarnya: menunjukkan pukul 7 malam.
Thira segera mengerjakan perintah Dira tadi. Di ambilnya kursi kecil untuk duduk dan mulai bekerja. Ia mulai merendam, memberi sabun pembersih pakaian, memborosnya, hingga memeras pakaian tersebut dan memindahkannya ke keranjang bersih. Ia keluar dengan keranjang yang berada ditangannya. Diangkatnya keranjang tersebut, dan segera menuruni tangga untuk menjemur pakaian di halaman belakang.
Thira menjemur pakaian dengan santai tanpa memperdulikan keadaan malam ini yang entah sudah jam berapa. Keadaan gelap tak membuatnya takut sama sekali. Toh, hidupnya sudah terbiasa dikegelapan.
Setelah selesai, ia segera masuk kedalam rumah dan segera tidur.
Thira menyempatkan melirik jam yang bertengger di dinding polos tanpa cat kamarnya. Menunjukkan puku 11 malam. Ia harus segera tidur karna besok ia akan pergi ke klub latihan memanahnya. Tak lupa membaca doa: agar saat membuka mata, kebahagiaan datang padanya walau mustahil.***
Pagi ini, Rain menuruni tangga dengan baju rumahnya. Ia menuju ke sofa dan berbaring sambil menonton TV. Sesaat kemudian Amara datang dengan nampan yang berisi camilan. Rain segera mendudukkan tubuhnya dan langsung mencomot camilan tersebut.
"Mah, papa mana?" Tanya Rain sambil terus mengunyah.
"Udah pergi kerja, katanya ada meeting." Jawab Amara sambil mengambil remote TV dan menukar siarannya.
"Yah kok ditukar sih ma." Melas Rain saat siaran bola kesayangannya diganti dengan siaran kesukaan mamanya, apa lagi kalo bukan film india kebanggaan emak-emak.
"Nih nih ntar lagi dia mau nikah." Ucap Amara tak henti memakan camilan.
Rain mendengus malas. Lihatlah! Mamanya sedang menonton adegan yang memperlihatkan pernikahan india yang bahkan dia tak tahu apapun yang menarik dari film itu.
"Mah, Rain keluar aja deh." Ucap Rain.
"Ooh mau nongki-nongki ya?" Tanya Amara.
"Iya bosen liat drama india nari-nari gak jelas." Sinis Rain yang bahkan tak dihiraukan Amara. Malah wanita paruh baya yang tampak masih muda itu membalas dengan mengibas-ibaskan tangannya seolah mengusir anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kathira [On Going]
Teen Fiction----- Kupendam segala rasa sesak, hancur dan putus asa ini. Membuatku ingin mengakhiri segalanya. Kugenggam segala rasa sabar, teguh dan semangat ini. Membuatku ingin membakar semua rasa itu agar berubah menjadi bongkahan rasa dendam yang amat dalam...