Canggung

21K 2.9K 174
                                    

Kenta berkali-kali tak bisa membuatku tidur. Tetapi, semalamlah yang terparah. Bukan hanya karena mataku enggan terpejam, otakku pun seakan memberikan dukungan untuk merusak kesehatan. Berbagai macam pikiran melintas di kepala. Yang paling sering adalah apa dan kenapa.

Apa yang salah dengan perawan? Kenapa dia memilih mundur? Apa menurutnya ini salah? Kenapa dia tak berkelakuan seperti kebanyakan pria lain? Apa dan kenapa lain yang terus menerus mengganggu pikiranku bahkan saat aku sampai di kantor.

"Gue nggak sanggup masuk kantor," jeritku frustasi di dalam mobil. Aku masih di basement, berlama-lama. Menempelkan dahiku di setir. "Apa gue izin Raven? Cuti sehari? Sakit?" mendadak pikiran pengecut itu muncul.

Punggungku tegak, menarik napas dengan sangat perlahan untuk menjernihkan pikiran sebelum keluar dari mobil. Pikiran bahwa Lyra tidak akan kalah hanya karena kejadian semalam, mendongkrak percaya diri. Lagipula, lari dari masalah bukan style Lyra.

Sialannya, Tuhan kalau nge-prank tak pernah setengah hati. Saat pintu lift yang akan mengantarku ke lantai tempat tim satu berada, pintunya terbuka di lobi dan di sana, sudah ada Kenta dan Retha yang tengah sibuk bersenda gurau. Wajah Retha seketika kaget melihatku.

"Gila, cetar banget lo hari ini. Mau ketemu siapa?" tanya Retha tanpa tedeng aling-aling. "Liat Bang Kenta," ia menyenggol siku Kenta yang berdiri di sebelahnya, "kalo Lyra udah gini pasti ada badboy lucu yang lagi dia taksir."

Aku menahan napas, pemikiran ini anak gadis memang butuh direm sesekali. "Dih, bacotnya ngawur."

Kemudian diam lama. Tak ada sahutan khas dari Kenta seperti biasanya. Ia jelas tengah kacau dengan pikirannya sendiri. "Tumben, Ta, diem banget. Semalem ketemu siapa setelah anter gue pulang?" tanyaku pura-pura. Bukannya bekerja sama agar kecurigaan Retha menghilang, pria itu malah memberikan tatapan menyebalkan. Canggung kembali melanda.

Hari-hari kikuk antara aku dan Kenta akan berlangsung cukup lama menilik reaksinya padaku saat ini, namun setidaknya untuk beberapa pekan ke depan aku tidak akan bekerja dengan Kenta. Ia dan Retha akan mengikuti banyak rapat bersama Raven sementara aku akan lebih banyak diam di kantor mengurusi sisa pekerjaan bersama Malika.

"Sorry kalau ganggu kerja kalian pagi ini," ucap Raven saat aku selesai menyalakan komputer. "Mulai hari ini Kenta dan Malika, switch tugas." Pria itu memandang Kenta hanya sepersekian detik lalu sepasang matanya terkonsentrasi penuh pada wajah Malika, tanpa ragu-ragu, tanpa malu-malu. "Saya perlu Malika untuk ikut rapat dengan saya. Agar dia bisa bantu detail tentang kondisi kunjungan kami ke Italia yang lalu."

Dari semua hal paling sialan, ini yang paling kacau. Bagaimana aku menghadapi situasi sekarang ketika beberapa minggu ke depan, hanya akan ada aku dan Kenta berdua saja di kantor sementara tiga manusia dari tim satu sibuk mobilisasi untuk mengejar rapat-rapat panjang di luar ruangan ini.

Haruskah aku menyalahkan Raven dan Malika yang tengah tarik ulur dengan hubungan mereka atau menyalahkan Kenta yang memulai segalanya atau diriku sendiri karena aku yang akhirnya mengeksekusi rayuan tak berujung dari pesan-pesan pribadi kami?

Ini salah Tuhan, yang nge-prank-nya setulus hati.

==

Malika, Raven, dan Retha meninggalkan kantor selepas makan siang sedangkan kami berdua diam memandangi komputer masing-masing. Tak ada suara, pembicaraan yang biasanya seru walau hanya ada kami berdua menguap pergi. Hanya terdengar bunyi ketikan selama satu jam terakhir.

Aku tak tahu apa yang tengah dikerjakan Kenta namun sisa tugas yang dihibahkan Raven sebelum jam brunch telah selesai kukerjakan. Menunggu hasil pekerjaan Kenta untuk aku berpindah ke tugas selanjutnya.

"Lo butuh bantuan? Kerjaan gue udah kelar," tanyaku akhirnya setelah ke toilet lalu berlama-lama di pantry sebelum kembali ke ruangan tim satu.

Kenta menghentikan ketikan, "Lima menit lagi," ucapnya mendongak untuk memandangku yang bersandar di kubikelnya sembari mengaduk sirup lemon buatan rumah milik Malika yang telah diberi izin boleh digunakan oleh tim satu. "Lo sakit? Kenapa minum lemon panas?" tanyanya saat menyadari gelas di tanganku mengepulkan hawa panas.

untuk beberapa saat aku diam, dilema memberikan jawaban pada Kenta. Aku minum lemon hangat hanya karena ingin bukan karena sakit. "Lebih tepatnya, gue sakit hati karena lo tolak semalam." Akhirnya aku melontarkan pikiran khas Lyra Anjani yang tanpa tedeng aling-aling.

aku bisa mendengar Kenta mengumpat rendah saat bokongku telah mendarat di kursi. Berdiam untuk beberapa saat menunggu penjelasan dari Kenta, tapi pria satu ini tak memberiku jawaban. Ia kembali fokus pada pekerjaannya.

Kampret memang!

Sisa hari kami habiskan dengan intensitas canggung yang lebih parah. Kenta menghindariku sampai semua tim satu berkumpul kembali sebelum pulang. Tak ada kesempatan bicara padanya hari ini dan aku yakin ini akan berlangsung sampai beberapa hari.

Mesin mobil baru kunyalakan saat pesan dari Kenta masuk. Membuatku menghentikan kegiatan memasang sabuk pengaman. Ia menyuruhku untuk menunggu sepuluh menit dari sekarang. Terdorong rasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan Kenta, aku akhirnya memutuskan untuk menunggu. Baru 7 menit, Kenta sudah muncul di basement.

Ia mengulurkan kresek di tangannya begitu jendela mobilku terbuka. Dua botol minuman kaya vitamin C, imun booster, dan beberapa obat ada di dalamnya begitu aku mengecek isinya.

"Buat apaan?"

"Jangan sampe lo sakit."

Aku berdecak, "Sakit hati emang bisa disembuhin sama vitamin C?"

"Ra, please?"

Ini bukan permohonan agar aku mengonsumsi obat dan vitamin yang diberikan Kenta tapi permintaan untuk berhenti membahas kejadian semalam, tapi aku tidak bisa. Ini harus diselesaikan. Aku harus tahu alasannya. "Nggak bisa. Gue butuh alasannya," tolakku keras kepala.

Kenta membuang muka mungkin jengkel pada penolakanku. Wajahnya menunduk, memandangi lantai basement. "Helow?" tekanku lagi.

Ia membuang napas panjang sebelum menatapku dengan ekspresi jengah, "Udah gue bilang kan semalam?"

Aku menatapnya sengit, "Ini beneran karena gue masih perawan?" tanyaku.

Jeda yang rasa-rasanya terlalu lama, sebelum akhirnya Kenta mengembuskan napas berat dan mulai bicara, "Haruskah gue jabarin apa yang gue rasain? Betapa ini semua nggak masuk akal buat gue?" Mendadak ia maju, dengan bibir mengatup lurus, bersiap menyerangku dengan kata-katanya. "Dari semua cowok yang pernah deket sama lo, kenapa harus gue? Karena setelah kejadian semalem, nggak ada satupun jawaban yang relevan menurut gue. Kenapa gue? Kenapa bukan salah satu cowok badboy kesukaan lo?"

Aku membuang muka. Kenta membiarkan keheningan terentang selama beberapa menit seakan dia memberiku waktu untuk berpikir. Sebenarnya jawaban dari pertanyaan Kenta sederhana, karena ia yang paling aman untuk FWB. Seks tanpa cinta. Beberapa kelakuannya akan membuatku anti baper tapi kalau kami dalam pose missionary, wajahnya bisa kutoleransi.

Kenapa tidak bersama salah satu bocah nakal favoritku? Karena aku tahu akhirnya. Lyra Anjani akan jadi budak cinta. Baper sendirian, bertepuk sebelah tangan. Ditinggalkan dengan perasaanku yang mengakar terlalu dalam. Sementara dengan Kenta, aku yakin bisa mengendalikannya.

"Ta, lo tahu kenapa disebut FWB?" akhirnya menoleh padanya. "Karena ini cuman seks tanpa embel-embel banyak pertanyaan. Seks tanpa cinta." Aku mengedikkan bahu, menyalakan mesin mobil. "Gue kasih waktu lo tiga hari. Kita lanjut atau stop semua keputusan di tangan lo. Oh, sama tambahan satu lagi. Mohon kerjasamanya biar si Mal sama Retha nggak curiga." ini kalimat terakhirku sebelum meninggalkan pelataran parkir basement.

==

Jangan lupa vote dan komen, biar semangat update. Terimakasih^^

FWBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang