Invitasi

21.9K 2.7K 148
                                    

"Di balik berkah jadi anak Tjokro Biantoro dan Arjanti selalu ada musibah yang mengikuti, Ta." Aku hanya memakai bra dan celana dalam, telentang menghadap langit-langit kamar. "Pas SD pernah di bully, SMP dimanfaatkan beberapa teman, awal masuk SMA memutuskan untuk nggak berteman dengan siapapun dan nggak menunjukkan tanda-tanda bahwa gue anak Tjokro Biantoro dan Arjanti."

"Lo pernah di bully?" Ranjang bergerak, Kenta merebahkan badannya di sisi kosong tempat tidur lalu menghadap padaku. Menopang kepalanya dengan salah satu siku.

Aku mengangguk. "Percaya atau enggak, tapi itu beneran terjadi."

"Wah.... Anak orang kaya, cantik, pintar. Bullier material tapi malah jadi korban perundungan."

"Nah," aku menghadap Kenta, "itu maksud gue. Gue punya semua material buat jadi tukang rundung, tapi gue yang dirundung."

"Lo dapet bully verbal atau fisik?"

"Verbal, Ta." Aku kembali menatap atap kamar mengingat beberapa detail kejadian yang masih menempel kuat di sudut memoriku. "Bullier gue bisa loh, himpun seluruh cewek di kelas buat benci gue. Ketawa-ketawa bareng pas liat gue, bisik-bisik pas gue lewat. Gosip berjamaah tepat di belakang kepala gue. Rambut gue dikuncir kuda pake tali lucu-lucu aja di bully, Ta. Bahkan bully agama juga. Gila nggak tuh?"

"Gila. Untuk anak SD."

Aku berguling ke arah Kenta kemudian menyusupkan satu kakiku di antara celah kedua kakinya. "Lo tau nggak apa yang bikin miris? Semua tunduk ke satu cewek ini hanya biar mereka selamat nggak jadi bahan bully. Dan gue," aku menjeda sejenak mengatur napas, "juga tunduk ke dia selama tiga tahun di SD biar nggak jadi bahan bullying. Hal yang begitu gue sesali sampai detik ini." Kenta mengelus punggungku, seakan gerakan itu sudah dirancang begitu tubuhku menempel pada tubuhnya. "Harusnya gue lawan waktu itu."

"Ya karena lo masih SD, Ra. Belum ngerti harus gimana." Kenta memaklumiku. Usapan lembut Kenta pada punggungku selalu punya efek samping seperti pil tidur. "Lo dendam nggak sama perundung lo?"

Aku mengembus napas, "Bukan dendam. Awalnya bertanya-tanya. Kenapa dia bully gue. Kenapa gue yang paling sering diserang. Gue baru sadar ketika gue udah bisa berpikir dewasa. Lihat situasi dia. Karena bocah ini nggak terlahir dari keluarga berada. Karena dia kurang beruntung tentang orangtuanya. Karena dia harus menjadi jahat sebelum orang lain menjahati dia."

"Dia iri sama lo," ujarnya membuat kesimpulan. Kenta menarik napas panjang sebelum bicara, "Tapi bully tetap salah, Ra."

"Tapi, Ta, dari kasus bully itu gue belajar satu hal. Jangan tahan diri, kalau merasa benar, harus berani speak up meskipun orang akan anggap kelakuan gue macem jalang nggak tau diri."

"Jadi asal muasal lo bacot banget gara-gara kasus bully lo?"

Aku kemudian duduk di ranjang. bersila menghadap Kenta seraya menggelung rambutku. "Salah satu penyebab dari banyak penyebab. SMP dimanfaatin temen, dan tahu dimanfaatin tapi diam. Gue kalau inget masa remaja gue dulu, frustasi. Kenapa dodol banget. Kenapa nggak lawan padahal gue bisa."

"Jadi lo nggak ekspos diri lo karena lo ogah di bully atau dimanfaatin lagi?"

"Semacam itu. Semenjak SMA orangtua gue makin sibuk, jadi setiap ada undangan perwakilan murid, selalu diwakilin orang lain." Kenta ikut duduk bersila, menghadapku. "Hari itu gue sadar, absennya orangtua gue ke sekolah bikin kehidupan remaja gue jauh lebih baik. Nggak ada bully, nggak ada cerita dimanfaatin, dan gue bisa bacot suka-suka tanpa harus dihakimi sebagai anak politikus atau pengusaha."

"Jadi sejak kapan lo sama Rania temenan?" Sejak SMA saat kelas tiga —sekarang kelas 12. Dia memilihku untuk jadi teman sebangkunya dengan alasan aku mengkritik siapapun tanpa pandang bulu.

FWBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang