Senjata Makan Tuan

18.1K 3.3K 284
                                    

Selamat membaca

==

Semuanya terjadi begitu cepat. Aku seakan tidak diberi celah untuk melarikan diri, membela diri, pun membuat alasan. Pelukan yang erat, pertanyaan yang ditembakkan padaku tanpa henti namun belum juga terjawab, sudah berganti dengan cerita panjang tentang Kenta dan ketakutan mereka kenapa Kenta tidak segera menikah padahal secara finansial, usia, dan kedewasaaan, mereka —kedua orangtua Kenta— yakin bahwa Kenta sudah mampu berumah tangga.

Niatku untuk menjelaskan bahwa aku hanya teman kerja Kenta makin menjadi-jadi saat ibu dari Kenta bicara akan membatalkan seluruh rencananya untuk membuat putranya memilih calon yang ditawarkan ibunya. Aku akan mati dengan rasa bersalah kalau Kenta sampai melewatkan jodohnya.

Kesempatan itu datang lima belas menit kemudian ketika akhirnya adik Kenta, ibu, dan bapaknya, berhenti bicara. Hanya tak berhenti mengulas senyum. Aku baru akan menjelaskan posisi diriku hanya sebagai teman kantornya dan melakukan sedikit improvisasi agar bisa lari dari situasi ini, sebelum Kenta berucap, "Ibuk, Lyra bukan pacar, kenta."

Aku bahkan akan membantu Kenta menjelaskan dan membuat sedikit kebohongan di sana sini, tapi perkataan selanjutnya membuat niatku untuk melarikan diri musnah. "Gimana ceritanya orang yang nggak peduli sama aku, bisa jadi pacar sih, Ibuk?"

Di depan orangtuanya, di depan adik lelakinya.

Aku pura-pura terkesiap kaget. "Kamu masih marah sama aku, Ta?" tanyaku setelah menenangkan diri dan menekan emosi. Aku menoleh pada ibu Kenta yang duduk bersebelahan denganku dan menggenggam erat kedua tanganku. "Kita udah pacaran dari beberapa bulan lalu, Tante. Tapi beberapa hari ini dia marah sama saya." Balas dendam terbaik bukan marah pada Kenta, tapi menghimpun orang-orang yang Kenta sayang agar berdiri di sisiku dan membela Lyra Anjani.

Hanya dengan tiga kalimat pamungkasku, segalanya jungkir balik. Kenta tak diberi kesempatan bicara, ibunya memelukku kembali, dan bapaknya memberitahu agar aku sabar menghadapi Kenta. Tak seperti beberapa keluarga mantan pacarku yang mengintrogasi dari a sampai z tentang bibit, bebet, bobot, keluarga Kenta menyambutku terlalu hangat.

"Mau ikut Kenta pulang kampung nih, Kak?" tanya adik lelaki Kenta yang membawa masuk tasku yang terlupakan di dekat pintu masuk. Aku spontan melonjak, bayangan tentang semua isi di dalamnya bisa membuat aku dan Kenta dinikahkan besok. Beberapa setelan pakaian dalam, satu setelan pakaian, sisanya pakaian cosplay seksi.

Aku baru saja merebut tasku dengan cara dramati ketika Kenta menamparku dengan kalimat yang tak terduga. Bukannya berusaha membuat kebohongan 'aman' tentang keberadaan tasku, dia melempar bom yang membuat segalanya berantakan. "Makasih ya, Sayang, akhirnya kamu mau ikut pulang ke rumah orangtuaku," sambil menepuk pelan pucuk kepalaku.

Bukan ungkapan cinta ya, Beb. Lebih kepada majikan yang puas karena anak anjing yang biasanya berontak, menurut padanya.

Tak hanya kedua orangtuanya yang heboh dengan perkataan Kenta, adik lelakinya juga bersemangat menyeretku agar ikut pulang ke rumah keluarga besar Kenta. Dan di sinilah aku sekarang, berdiri dengan gemetar dan ragu-ragu menghadap pada rumah orangtua Kenta, dengan waktu mendekati tengah malam setelah beberapa jam perjalanan. Untungnya aku semobil bersama Kenta, tak jadi satu dengan keluarganya. Entah apa yang harus aku lakukan kalau mereka bertanya macam-macam. Aku bahkan tak tahu banyak informasi tentang Kenta, yang kutahu hanya posisi favoritnya.

"Bengong mulu, Siti Yaroh. Kenapa? Nyesel?" tanyanya. Aku bisa melihat ekspresinya yang tengah menertawaiku bahkan dalam keadaan gelap seperti ini.

Aku membusungkan dada, "Enggak! Gue bakal bikin liburan lo jadi neraka." Dan aku menghempaskan rambut panjangku berusaha mengenai wajahnya.

FWBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang