Ibu Disa mondar-mandir di depan pintu kamar anaknya itu. Sesekali ia menghela napas berat. Kedua tangannya ia topang ke dagu, sambil terus memikirkan apa sebenarnya yang terjadi pada putrinya.
Ibunya mengira Disa akan membaik dalam satu atau dua malam. Selama ini, diam-diam ibunya sering menguping pembicaraan anaknya ketika ribut lewat telepon dengan Arman. Entah karena persoalan apa. Namun, Ibunya tidak mau mengorek informasi apa-apa dari Disa, karena ia sangat yakin, esoknya pasti baikan lagi.
Dan, lihat kini, anaknya semakin kacau. Jauh dari dalam hatinya, ia sangat kasihan. Namun, ibunya juga bingung harus berbuat apa.
Disa tidak mau berbicara apa-apa, selain tak henti membuat kamarnya berantakan. Bukannya emosi anaknya itu mendingan, semalam Disa lebih kacau lagi. Anaknya itu tidak mau keluar kamar dan mengunci dirinya dari dalam.
Sejak tadi pagi hingga siang ini, ibunya tak putus asa membujuk Disa ke luar kamar. Namun, Disa tidak memberi jawaban. Ia terus berharap Disa mau membuka pintu kamarnya.
Suaminya hanya mengamati dari sofa ruang tamu. Ia melipat tangannya di dada. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai, seakan gatal melangkah untuk mencari di mana keberadaan Arman. Istrinya itu sudah mewanti-wanti supaya ayah Disa mengambil langkah dengan kepala dingin. Tidak dengan emosi, apalagi dengan tindakan yang gegabah.
"Kalau kau tidak bisa selesaikan ini, biar aku yang turun tangan," ayahnya mulai kalut.
Ibu tidak membalas apa-apa. Ia tidak mempan dengan gertakan itu. Yang dipikirkannya saat ini hanyalah siapa yang bisa membujuk Disa untuk segera keluar.
Tiba-tiba teringat oleh ibunya kawan-kawan Disa. Namun, ibunya tidak cukup yakin, apakah dia masih menyimpan nomor sahabat Disa itu di ponselnya. Dulu, semasa Disa kuliah, ibunya pernah menanyakan kontak kawan dekat anaknya itu, hanya untuk berjaga-jaga.
Ia duduk di sofa, di hadapan suaminya. Ia terus mencari kontak Lani di buku telepon. Nama Lani masih di situ. Tersambung...
"Halo, ini, Lani? Iya, ini Ibunya Disa," ibunya sedikit bahagia ketika tahu nomor itu masih aktif. Tapi, tidak cukup bisa menyembunyikan nada gugupnya.
"Iya, ada apa Tante?"
"Lani, bisa tolong, Tante, Nak? Disa... Disa nggak mau ke luar kamar sudah seharian ini. Lani bisa ke rumah?"
Hanya diam sejenak, terdengar Lani menggumam. Sedang memikirkan sesuatu. Dari seberang, Ibu Disa mendengar suara keramaian.
"Duh, gimana ya, Tante, Lani masih kerja. Rumah makannya belum tutup. Tutupnya malam. Gimana kalau coba telepon Manela atau Kula, nanti Lani coba kirim nomornya."
"Baik, Tante coba hubungi yang lain." Ibu Disa terpaksa menutup telepon itu dengan hati teramat kecewa.
Ia segera mencari nama Manela. Ditelepon, hanya pesan suara yang menjawab. Ibu menghela napas. Kula. Ya, Kula, satu-satunya harapannya.
"Tante, tumben, ada apa telpon?" Kula segera menjawab ketika Ibu Disa menelepon.
"Kula...," kata Ibu Disa dengan suara nyaris hilang.
"Ya, Tante?"
"Disa.." Ucap Ibu menggantung. Ia butuh jeda untuk menahan emosinya.
"Disa kenapa Tante?" Kula mulai penasaran, namun ia berusaha tidak panik.
"Tante bingung. Sudah seharian dia mengurung diri di kamar. Nggak mau ke luar. Nggak makan. Nggak mandi. Kami bingung sebenarnya ada apa. Siapa tahu dengan kamu, dia mau dibujuk ke luar."
"Tante, tenang, ya. Kula kebetulan nggak jauh dari rumah Tante. Kebetulan tadi habis nge-gym. Sambil coba Kula hubungin Lani dan Manela ya."
YOU ARE READING
Rantai
General FictionKami empat penulis novel, mencoba membuat sesuatu yang eksperimentalis. Menulis bab demi bab secara selang-seling, sesuai imajinasi masing-masing untuk membentuk satu cerita yang mungkin nyambung mungkin enggak. Nikmati saja, untuk menemanimu selama...