Disa melangkahkan kakinya dengan lemas menuju kamar. Ia sudah kembali masuk kantor meski belum sepenuhnya pulih. Setidaknya, menjelang malam selalu terjadi hal-hal aneh di rumahnya. Terutama di kamar Disa. Dua hari lalu, bangkai seekor burung gereja tiba-tiba terletak di meja riasnya. Bangkai burung gereja tanpa kepala itu membuat Disa kaget. Kepala burung itu hilang. Lehernya masih penuh darah segar. Dua kakinya diikat pakai benang tiga warna; putih, hitam, dan merah.
Tiba-tiba.
"Anjing!" Disa berteriak kencang, lalu meraung-raung. Dadanya tiba-tiba terasa diikat tali tambang yang sangat kencang. Teriakan itu membuat ibu Disa segera menyusul ke dalam kamar.
"Disa? Kamu kenapa, nak?"
"Anjing! Anjiiiiinggg!" Disa berteriak keras. Ia lagi-lagi seperti bukan dirinya.
Tangannya memeluk tubuh seolah sedang berusaha melepaskan sesuatu; semacam rantai yang mengikat dadanya. Matanya membelalak, sembari terus berteriak mengucapkan kata 'anjing' berkali-kali. Ibu Disa mencoba mendekat, namun tubuh Disa membrontak, membuat ibunya terpelanting ke dinding.
"Nak, istigfar! Ngucap, nak! Jangan ikuti setan itu!" Seru ibu Disa.
"Jangan ikut campur!" ucap Disa dengan suara yang beda. Lebih terdengar seperti suara laki-laki dibanding suara Disa. Suara itu terdengar pecah dan parau.
"Kau anakku. Jangan mau dikendalikan setan!" Balas ibu Disa.
"Anjing! Anjing!" Disa semakin berteriak tak terkendali.
Ia berdiri dan beranjak dari tempat tidurnya. Tubuhnya meronta-rontak seperti orang kesakitan. Beberapa kali dia terlihat seperti sedang melepaskan sesuatu yang mengikat dadanya. Mungkin karena rasa sakit yang teramat, ia meremas rambutnya sekuat mungkin. Sampai beberapa helai rambut rontok dan mengumpul di jemarinya.
"Disaaaa! Istigfar, nak!" Ucap ibunya terus mencoba menenangkan anaknya itu.
Disa tidak peduli. Ia mendekat ke meja rias yang ada di depannya. Lalu memakan bangkai burung gereja yang ada di atas meja itu. Disa terlihat lahap seperti orang yang tidak makan berhari-hari. Setelah memakan bangkai burung gereja dengan bulu dan darahnya. Disa meronta-ronta lebih keras. Ibunya berusaha menenangkan, lagi-lagi terbanting ke dinding.
Saat meronta-ronta tak karuan itu. Ayah Disa datang dan segera menyiram anak perempuannya itu dengan air yang sengaja dibawanya, entah dari mana. Disa mencoba melawan, namun tenaga ayahnya lebih kuat.
"Keluar dari tubuh anakku!" ucapnya.
"Anjing! Menghindar dariku!" Balas Disa.
"Kau tidak akan bisa membuat seorang ayah yang sangat mencintai anak perempuannya menjauh dari anaknya sendiri. Kau tidak berhak atas anakku, atas tubuh anakku. Menyingkir!" Ucap ayah Disa dengan nada marah besar.
Suasana semakin kacau. Disa meronta dan berhasil lepas. Lalu ia menghempaskan punggungnya ke dinding. Lalu tak sadarkan diri. Ibu Disa segera mengejar tubuh anaknya.
"Sudah kubilang, jangan biarkan dia bermenung sore hari." Ucap ayah Disa kepada istrinya.
"Aku tidak tahu dia kenapa? Dia baru saja pulang dan masuk kamar. Tiba-tiba meraung-raung." Balas istrinya.
"Aku akan membunuh siapa pun yang sudah mencelakai anakku." Ucap Ayah Disa, dia kesekian kalinya mengucapkan kalimat itu, dan makin berapi-api.
"Jangan emosi."
"Kamu pikir ayah mana yang tidak emosi, kalau setiap saat anaknya tiba-tiba meraung begini." Tegas Ayah Disa.
"Kita cari obatnya!"
YOU ARE READING
Rantai
General FictionKami empat penulis novel, mencoba membuat sesuatu yang eksperimentalis. Menulis bab demi bab secara selang-seling, sesuai imajinasi masing-masing untuk membentuk satu cerita yang mungkin nyambung mungkin enggak. Nikmati saja, untuk menemanimu selama...