Sebuah motor ala kadarnya menderu jalanan kota yang mulai ramai pagi itu.
"Kalau cowok pergi gitu aja tiba-tiba, kira-kira kenapa ya?" Tanya Manela pada Tio.
Tio bukan kekasih Manela, tapi seorang laki-laki yang akhir-akhir ini mencoba mendapatkan hatinya, dan tampaknya akan sukses. Tiga sahabat Manela, tidak ada yang tahu soal ini.
"Hah gimana, aku gak denger?" Tio mengeraskan suaranya. Ia berbelok ke kiri, dan tampak sudah toko parfum tempat Manela bekerja.
Begitu sampai, Manela melepas helmnya, tersenyum tipis dan bertanya kembali. "Jadi gini ya Tio, kalau ada cowok pergi tiba-tiba gitu aja, kira-kira apa ya penyebabnya?"
Tio menepuk tipis jidatnya. Padahal tak ada nyamuk. "Aduh lah Manela, kenapa pula tanya begitu? Kamu kenapa?" Perasaan gundah mulai menyeruak dari dada Tio. Belum juga jadi pacar, sudah begini pertanyaan yang aku dapat, bisiknya dalam hati.
Manela mendekatkan tubuhnya, tercium bau parfum yang amat khas. Ia pegang lengan Tio. "Aku gak apa-apa. Tenang aja, gak kok. Aku cuma mau tahu, apa sih alasan yang mungkin?"
Tio terjebak. Ia mencoba membuat deretan kesalahan apa saja yang kira-kira dia lakukan sebulan belakangan pada Manela, sejak hubungan mereka mulai memperlihatkan bentuk yang mungkin berwujud lebih. Sulit Tio menemukannya. Kalau pun ada, hanya masalah kecil-kecil saja.
Dari arah toko parfum, terdengar suara kasak-kusuk. Beberapa karyawan lalu lalang. Manela melirik jam di ponselnya. "Okelah, kalau gak ada jawabannya gak apa-apa. Gak semua harus punya jawaban kan?" Manela melipat senyumnya.
Mendengar gak semua harus punya jawaban ini, jantung Tio berdebar. Ia mulai mengira-ngira. Jangan-jangan Manela tidak kunjung menjawab pertanyaannya waktu itu, karena ya prinsip Manela yang satu ini. Dalam hatinya Tio mengira, jangan-jangan Manela sudah menganggap hubungan ini lebih dari sekadar teman?
Tio memasukkan persneling motornya hendak lanjut menuju tempat dia bekerja. Sudah seminggu belakangan, Manela akhirnya mau diantar olehnya. Namun belum sempat ia menggas motor, Manela memanggil lagi.
"Tio," Manela membalikkan badan. "Kamu bisa main bilyar?"
Tio masih mencerna pertanyaan itu.
"Nanti malam pulang kerja, temenin aku main bilyar ya?" Tanya Manela, meski ia juga tak pernah main ke tempat itu. Dia punya sebuah rencana.
Belum sempat Tio mengangguk, Manela sudah melenggang lagi menuju toko parfum itu. Bercampur aduk perasaan Tio. Entah apa yang direncanakan Manela. Yang jelas, Tio senang betul, seperti anak kecil dapat mainan baru dari ibunya. Alamak, jadi juga sama Manela ini, dia minta ditembak di tempat bilyar rupanya. Pikir Tio.
***
Di tempat lain, sebuah ruangan yang gelap. Kepulan asap tipis dan bau menyengat mengelilingi ruangan itu.
Ayah Disa mengeluarkan sebuah foto yang sudah remuk compang-camping. "Ini." Ayah Disa menyerahkan foto itu pada orang di depannya. Di foto itu, tampak Disa dan Arman.
Orang itu melihat dua detik, tiga detik, empat detik tanpa mengedip. Kemudian ia pejamkan matanya. Nafasnya mendesis panjang, bola matanya terbuka kembali. "Ini, sudah jauh pak. Tidak lagi di pulau ini, sudah lewat garis pantai. Kalau sudah begini, tidak sampai ilmu saya melihatnya." Papar orang itu.
Ayah Disa terperanjat tidak percaya. Kepal tangannya sudah tidak tahan hendak menghajar Arman. Meski ia sendiri tidak paham betul apa urusan yang membuat Arman dan Disa sampai begini. Ayah Disa hanya mengira-ngira saja, bahwa anaknya sudah disakiti jiwa dan raga sedemikian rupa.
YOU ARE READING
Rantai
General FictionKami empat penulis novel, mencoba membuat sesuatu yang eksperimentalis. Menulis bab demi bab secara selang-seling, sesuai imajinasi masing-masing untuk membentuk satu cerita yang mungkin nyambung mungkin enggak. Nikmati saja, untuk menemanimu selama...