Ayah Disa tak habis pikir kenapa tak ada satu orang pun yang benar-benar bisa menyembuhkan Disa. Ia sudah mencoba mencari obat ke rumah sakit, tapi saat Disa dichek hasilnya Disa hanya dinyatakan banyak pikiran dan kelelahan. Bagaimana mana mungkin ada orang kelelahan tapi malah meraung-raung seperti harimau tengah malam; kadang seperti bunyi suara binatang yang seram mencakam malam.
"Bu, apa salah kita ya? Kenapa anak kita semata wayang malah jadi begini?" Malam itu, Ayah Disa benar-benar lelah. Namun ia belum ingin menyerah menyembuhkan anak semata wayangnya itu.
"Rasanya kita sudah berusaha sekuat tenaga. Kadang di luar logika memang. Siang hari Disa bisa berkegiatan seperti biasa, tapi menjelang malam, dia seperti bukan lagi dirinya."Ibunya juga menyandarkan tubuh.
Malam terus bergerak pelan menuju pukul sepuluh malam. Mereka istrirahat karena beberapa hari belakangan cukup banyak menghabiskan energi. Bahkan tak jarang ibu dan ayah Disa harus menenangkan Disa yang tiba-tiba mengamuk tak jelas.
"Apa kita harus memasung Disa, bu?"
"Heh! Jangan sembarangan kalau ngomong, ah. Anak kita tidak gila. Kalau pun dia Gila, dia seharusnya diobati bukan dipasung. Orang gila tak akan pernah sembuh dengan pasungan." Ibu Disa menolak keras pikiran ayahnya.
"Astagafirullah.."
"Istirahat dulu. Kalau kelelahan, pikiran jadi suka aneh." Pinta Ibu Disa.
Malam jatuh semakin sunyi, suasana di rumah itu jauh berbeda beberapa wakti belakangan. Semakin banyak terror yang datang ke rumah mereka. Empat hari lalu, tiba-tiba saja ada lubang sebesar drum di halaman rumah saat mereka terbangun pagi hari. Lubang itu pas di depan pintu hendak keluar rumah. Untungnya tak ada yang tersungkur masuk ke dalam lubang itu.
Ayah Disa sempat mencari tahu siapa yang segila itu menggali lubang tengah malam di depan rumah mereka. Gilanya, mereka bahkan tidak sadar ada yang menggali lubang sebasar itu di depan rumahnya.
"Ini semakin nggak benar." Ucap Ayah Disa murka.
"Apa kita harus pindah rumah saja?" lanjutnya kepada istrinya.
"Tapi kita mau pindah kemana?"
"Kita jual rumah ini dan beli rumah baru."
"Nggak bisa gitu, Uda. Rumah ini begitu banyak kenangan. Kita nggak bisa meninggalkan rumah ini karena sedang sakit. Kita harus mengobatinya." Jawab Ibu Disa.
"Tapi, ini sudah Gila."
Ibunya terlihat sedih dengan kejadian yang ada. Ia sama sekali tidak mengerti, siapa yang tega membuat keluarganya jadi seperti ini. Apa yang mereka perbuat? Dosa apa yang harus dihukum sedemikian gila ini.
Ayah Disa segera menutup lubang yang ada di depan rumahnya itu. Takut nanti lubang sialan itu malah menelan korban. Sejak kejadian itu, ayah Disa jadi lebih rajin mengasah pisau.
"Kok pisaunya diasah terus? Buat apa sih?"
"Aku akan intai siapa yang datang tengah malam ke rumah kita dan menggali lubang itu. Biar dia tahu, aku bisa menggali dadanya dengan pisau ini." Ucap Ayah Disa geram.
***
Jarum jam bergerak pelan. Detak-detak menjadi detik berganti. Malam semakin larut. Suasana kamar disa gelap sebab lampu sudah dipadamkan. Hanya ada bias lampu dari luar yang masuk melalui pentilasi udara. Disa tertidur pulas sebab lelah setelah bekerja seharian. Di luar rumah seperti ada suara orang sedang memukul tiang listrik. Suara itu semakin dekat terdengar. Tidak seperti biasanya. Tiba-tiba Disa terbangun saat suara itu terdengar semakin dekat. Ia berdiri dari tempat tidur namun tak menyalakan lampu. Ia mengintip dari jendela mencari sumber suara itu. Namun ia tidak melihat apa-apa. Suara itu pun tidak lagi terdengar. Setelah suasana kembali tenang, Disa kembali ke tempat tidurnya. Ia merebahkan tubuhnya.
Baru saja tubuhnya terhampar ke tempat tidur. Ia merasa ada yang aneh dengan dirinya. Ia merasakan ada sesuatu yang melilit kakinya. Lisa kaget dan sontak mencari stopkontak lampu kamarnya dan menyalakan lampu, ia langsung histeris melihat perut panjang ayam penuh darah melilit kakinya. Bagian isi perut ayam itu masih menetes dengan darah segar. Suara histeris Disa membangunkan ayahnya dan segera menuju kamar Disa.
"Bajingan! Siapa lagi yang mengantar ini kemari." Ayah Disa segera mencari pisau yang diasahnya dan membuka pintu depan mencari seseorang yang mungkin saja berada di sekitar rumahnya.
Ibu Disa segera menenangan Disa. Ibu Disa segera mengambil kantong plastic dan memasukan perut panjang ayam penuh darah yang berbau anyir itu. Lalu membereskan alas tempat tidur anaknya yang bersimbah darah ayam.
"Kenapa jadi begini?" Tanya Ibunya.
"Aku nggak ngerti, Bu. Tadi ada suara aneh, tapi ketika kulihat tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba hendak tidur, ada itu di kakiku." Disa memeluk ibunya. Perempuan itu membalas pelukan anaknya itu.
Teror terhadap Disa dan keluarganya semakin hari semakin menjadi-jadi dan semakin mengerikan.
Beberapa saat kemudian ayah Disa datang ke kamar.
"Gimana, Uda?"
"Nggak ada siapa pun."
"Apa ya yang mereka mau?"
"Mereka mau Disa tersiksa."
"Ayah..." Disa mendadak semakin ketakutan mendengar ucapan ayahnya.
"Tenang, nak. Mereka nggak akan bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Suasana mulai tenang meski masih tersisa panik. Ayah Disa meminta Disa untuk kembali istirahat. Ayahnya bilang besok ia akan pergi ke tempat temannya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada anaknya.
"Disa boleh minta temanin ibu tidur di sini?" Ucap Disa karena masih takut.
Ibunya melihat ayah Disa. Lelaki itu memberi kode untuk menuruti kemauan anaknya. Lalu keluar dari kamar anaknya itu. Baru saja menutup pintu kamar dia mendengar dentuman keras terhempas di pintu utama. Ayah Disa segera berlari menuju sumber suara. Ia bergegas membuka gagang pintu dan mengejar seseorang ke halaman. Namun ia lagi-lagi tidak menemukan siapa pun di luar rumahnya.
Ia berputar mengelilingi rumahnya memastikan ada seseorang yang melempar sesuatu ke rumahnya namun ia tak menemukan siapa pun. Benar-benar tidak ada orang sama sekali. Hari sudah menjelang subuh, ia kembali ke rumah dan menemukan sepotong kepala kambing hitam di depan pintu. Kepala kambing itu seperti baru saja dipotong. Ayah Disa mengumpat marah dalam hati.
"Apa maksudnya mengirim ini ke rumahku? Sialan!"
Ia mengambil kepala kambing hitam yang masih berdarah itu. Ia tersadar ada benang tiga warnah melilit di leher kambing hitam yang terpotong itu; benang hitam, merah, dan putih itu sebagian sudah terkena darah. Bau amis darah kambing itu semakin kuat. Ayah Disa segera mengambil kantong plastik perut panjang ayam tadi dan memasukan kepala kambing itu sekalian. Lalu ia menggas motornya mencari sungai terdekat dari rumah.
Dari atas jembatan, Ayah Disa membuang perut panjang ayam dan kepala kambing itu ke sungai lalu membakar kantong plastik yang ia bawa. Ia bergegas pulang meninggalkan jembatan sungai itu. Beberapa saat kemudian ia sampai lagi di rumah dan gema suara orang menggaji terdengar dari masjid. Ayah Disa segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Bersambung...
***
Episode 01: Boy Candra
Episode 02: Dodi Prananda
Episode 03: Js Khairen
Episode 04: Genta Kiswara
Episode berikutnya akan bergiliran sesuia urutan. Siap menantikan imajinasi yang beradu, yang boleh jadi tak menentu, dan boleh jadi jutru padu? Ikuti terus ceritanya. Jangan lupa tinggalkan komentar.
YOU ARE READING
Rantai
General FictionKami empat penulis novel, mencoba membuat sesuatu yang eksperimentalis. Menulis bab demi bab secara selang-seling, sesuai imajinasi masing-masing untuk membentuk satu cerita yang mungkin nyambung mungkin enggak. Nikmati saja, untuk menemanimu selama...