Manela hampir saja menarik rolling door toko parfum tempatnya bekerja. Namun, gerakan sekali sentak untuk menurunkan itu ia tunda, ketika motor Tio berhenti tepat di depan tokonya.
"Aku pikir kamu nggak jadi jemput," dengus Manela. Sudah hampir pukul setengah sembilan. Padahal Tio berjanji akan menjemputnya pukul tujuh. Manela membatalkan menutup rolling door, malah duduk di pinggir pedestrian tepat di sebelah toko.
"Sorry, sorry, tadi Ibuku minta dianter ke tukang jahit. Jadi telat jemput kamu deh." Tio melepas helmnya. Lalu menyusul Manela yang tampak sangat kusut.
Manela bergeming. Tio jadi takut, apakah ini karena ia terlambat jemput?
"Kamu kenapa sih?" Tio menyentuh telapak tangannya ke pipi Manela. Manela seperti kucing kedinginan, segera meraih telapak tangan Tio lalu menggengamnya. Berharap ada seseorang yang bisa ia pegang saat ini untuk mengusir kegundahannya.
"Aku merasa bersalah banget pakai acara kenalin Arman ke Disa," ucap Manela tak tahan mengungkapkan kegundahannya.
"Wait, ini masih masalah Disa? Aku pikir kamu bakal berhenti mikirin ini semua . Itu bukan salah kamu, kok."
Manela menggeser duduknya kali ini. Ia menatap mata Tio. Seakan bisa melihat rasa penyesalannya dari pantulan dirinya di bola mata Tio.
"Gimana aku nggak kepikiran. Mereka itu jadian, ya karena aku. Aku menyesal. Harusnya dari awal aku tahu orang kayak Arman tidak pantas untuk Disa."
"Kamu serius masih mau bahas ini sekarang?" Tio tampak tidak berminat dengan pembahasan ini lagi.
"Tio, aku bingung mau cerita ini ke siapa. Anak-anak pasti mikirnya aku egois ninggalin Disa dalam kondisi kayak gini." Tio meraih tangan Manela, dia memberi dukungan.
"Gimana kalau cari makan dulu deh. Biar kamu lebih tenang. Nanti habis makan malam, pas kamu udah agak tenang, kamu boleh lanjutin ceritanya. Gimana? Setuju? Kamu lagi pengen makan apa? Nasi Goreng Kubang? Martabak Mesir? Atau Baso?"
"Ke Pondok dulu aja deh. Ntar lihat di sana aja," kata Manela bangkit dari duduknya. Lalu meraih tas di etalase.
Tio membantunya menarik rolling door. Dengan sekali sentak, rolling door itu menutup dan Manela memasang gemboknya. Selepasnya, Manela berangkat dibonceng Tio. Sepanjang jalan, tangannya ingin memeluk pinggang Tio. Tapi, ia menahan, sehingga hanya kepalanya yang ia rebahkan di pundak Tio. Pikirannya masih belum tenang.
***
Ibu dan Ayah Disa akhirnya punya peraturan, mereka harus bergantian menjaga Disa. Pintu kamar anaknya itu dibiarkan selalu terbuka. Sehingga dari sofa ruang keluarga, ayah atau ibunya tetap bisa memantau. Ibunya sampai pindah tidur ke kamar Disa demi bisa memantau Disa supaya tidak melamun.
Malam ini, Ibu Disa meninggalkan anaknya itu sebentar pada ayahnya. Ibu Disa tidak tahu harus menceritakan kejadian ganjil yang dialami Disa itu. Akhirnya Ibunya menjumpai Tek Ta, adik dari Nenek Disa. Di keluarganya, Tek Ta disegani karena yang paling taat beragama.
"Supiak, kenapa kemari?" Tek Ta cemas dengan wajah Si Mar, Ibu Disa yang mendadak bertandang ke rumahnya malam ini. Tek Ta menurunkan dua cangkir teh manis panas dari nampan lalu duduk di sofa dekat Mar.
"Tentang Disa, Tek."
"Kenapa, Disa? Adoh apo (ada apa)?"
"Entahlah Tek Ta. Ambo pun tidak tahu, apa pangkal semua ini. Ambo takuik, Disa jadi sasaran ilmu hitam. Orang jahat."
YOU ARE READING
Rantai
General FictionKami empat penulis novel, mencoba membuat sesuatu yang eksperimentalis. Menulis bab demi bab secara selang-seling, sesuai imajinasi masing-masing untuk membentuk satu cerita yang mungkin nyambung mungkin enggak. Nikmati saja, untuk menemanimu selama...