Chapter 8

685 51 16
                                    

Disclaimer: fanfiksi ini terinspirasi dari film Pretty Woman (1990)--dengan beberapa modifikasi menyesuaikan karakter. I do not own any of these characters or the story plot. Hanya menulis karena hobi. I do not gain anything from this fanfiction.

Warning: adult themes dan konten sugestif, tapi tidak ada penulisan eksplisit

------

(Song: It Must Have Been Love - Roxette)

------

Steve memperhatikan Tony yang sedang memakan sarapannya sambil melihat layar tabletnya.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Steve.

Tony mengangkat wajahnya, melihat Steve. "Memikirkan kalau hari ini kau sudah akan pergi," Tony tersenyum. "Akhirnya bisa menyingkirkanku, kan?"

Steve membalas senyumannya. "Yah, kau cukup merepotkan."

"Steve, aku ke California besok," kata Tony. Dia diam sebentar sebelum melanjutkan, "kita bisa bertemu lagi."

"Benarkah?"

"Ya. Aku akan memberikanmu apartemen, mobil, dan aku akan pastikan sejumlah toko akan siap melayanimu kapan saja," kata Tony.

Wajah Steve mendadak layu. Tentu saja, memangnya dia berharap Tony menganggapnya seperti apa? "Kau juga akan tinggalkan uang di ranjang setiap kali bertemu?" katanya dengan nada masam.

"Tidak," Tony mengerutkan alisnya, bingung dengan perkataan Steve barusan. "Steve, setidaknya kau tidak lagi tinggal di jalanan."

"It's just geography," Steve mengangkat bahu dan berdiri, lalu berjalan menuju balkon. Dia perlu udara segar.

Tony mengikutinya. Ada sebuah pendapat yang menakutkan di dalam kepalanya. "Steve, apa yang kau inginkan?"

Steve tidak menjawabnya.

"Apa yang kau inginkan... dari hubungan kita?" tanya Tony lagi.

"... entahlah," kata Steve. Dia menoleh pada Tony. "Mungkin aku ingin sebuah dongeng."

Tony menggeleng-gelengkan kepalanya. Ponselnya berdering di atas meja. Tony segera melihatnya.

"Steve, aku harus pergi ke kantor. Hari ini hari presentasi dan Obadiah ingin aku disana‒" Tony menatap Steve. "Steve, aku tidak pernah ingin  memperlakukanmu seperti pelacur."

Tony mencium pipi Steve singkat sebelum dia pergi. Steve bergumam kecil di bawah napasnya.

"Kau baru saja melakukan itu..."

-----

-----

Natasha Romanoff mengernyitkan kedua alisnya melihat seorang pria berambut pendek coklat itu bersandar santai pada meja front office-nya yang terbuat dari marbel itu. Mulutnya terus mengunyah‒mungkin permen karet sambil memandangi lobi itu. Hari ini cukup panas, Natasha bisa akui itu. Tapi tetap bukan alasan bagi pria ini untuk masuk ke hotelnya hanya menggunakan tank top berwarna putih. Natasha mengirim petugas resepsionisnya ke tempat lain karena dia tidak ingin pegawainya berurusan dengan pria seperti ini.

"Tuan Steve‒" Natasha baru saja tersambung dengan orang yang dicari oleh pria itu, tapi pria itu menjulurkan tangannya meminta gagang telepon itu.

"Aku saja yang menelponnya," kata pria itu. Natasha memberikannya dengan ragu.

"Hei, Steve. Bisakah kau turun ke bawah? Polisi di bawah sini tidak membiarkan aku melewati lobi," laki-laki itu menatap Natasha dengan sebuah cengiran di wajahnya. Steve akan segera menemuinya sehingga laki-laki itu meletakkan kembali telepon itu. Dia masih memandangi Natasha.

What We DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang