Chapter 2

780 72 8
                                    

Disclaimer: fanfiksi ini terinspirasi dari film Pretty Woman (1990)--dengan beberapa modifikasi menyesuaikan karakter. I do not own any of these characters or the story plot. Hanya menulis karena hobi. I do not gain anything from this fanfiction.

Warning: adult themes dan konten sugestif, tapi tidak ada penulisan eksplisit

-------

-------

Steve hampir tidak pernah masuk ke dalam hotel semewah Four Season Hotel. Hampir, karena sekali dua kali Steve pernah punya customer yang cukup kaya untuk menyewa kamar hotel bintang 4. Steve bisa langsung merasa pakaiannya, yaitu kaus dan jeans-nya yang robek di sana-sini sangatlah out of place. Pandangan aneh, penasaran, ingin tahu, bahkan merendahkan terasa seperti menusuk punggung Steve. Oh, memang benar Steve memiliki fisik yang membuatnya terlihat sanggup mengalahkan seekor beruang, tapi Steve masih merasa belum terbiasa untuk bersikap tidak acuh dengan pandangan-pandangan itu. Meskipun begitu, Steve merasa perlu untuk sekalian saja menunjukkan pada orang-orang disana mengenai keahlian yang dimilikinya untuk bertahan hidup di jalanan. Misalnya pada petugas lift yang terus menatapinya tanpa berkata apa-apa. Hanya dengan senyuman menggoda dan kerlingan mata, petugas itu langsung kaku bagaikan kayu pahat.

"Aku tidak bilang aku melarangmu melakukan itu, tapi aku akan lebih senang kalau kau bersikap seolah-olah aku pemilikmu sekarang," kata Tony begitu mereka keluar dari lift. Laki-laki berambut hitam yang lebih pendek dari Steve itu (tetapi jelas lebih tua) menunjuk-nunjuknya seperti cemburu. Steve hanya bisa geleng-geleng kepala. Padahal Tony jelas-jelas cekikikan saat menyaksikan aksi Steve dan si petugas lift tadi.

Mereka naik sampai di lantai atas, kamar suite. Rupanya Tony memang orang yang memiliki terlalu banyak banknotes di dompetnya. Bagi Steve, kamar itu sudah seperti sebuah rumah kecil yang mewah. Beberapa Chandelier tergantung indah dari langit-langit, dining room, bar pribadi, living room dengan TV flat yang besar dan beberapa sofa, bahkan meja kerja di dekat jendela. Saat Tony mempersilakannya masuk dan melihat-lihat, Steve langsung menyadari balkon yang lengkap dengan set kursi patio. Dari balkon itu menunjukkan keindahan kota New York dari lantai teratas bangunan dengan 100-an lantai.

"Pertama kali di kamar suite?" tanya Tony. Laki-laki itu duduk di kursi kerja yang berada di dekat jendela itu, dengan cepat mengamati setiap surat dan dokumen yang tercecer di meja. Steve kembali masuk ke dalam ruangan dan tersenyum lebar.

"Well, belum ada yang membawaku ke kamar yang sebesar ini," Steve berjalan mendekati Tony dan dari belakang, Steve melonggarkan dasi yang dikenakan Tony. Satu tangannya melepaskan kancing teratas dan tangannya yang lain menjatuhkan satu sisi jasnya dari bahu. Steve berbisik lembut di telinga Tony.

"Jadi kau mau melakukan apa?" bisik Steve, dengan sedikit ciuman di telinga dan leher.

Hal itu membawa senyum di wajah Tony. "Tidak tahu. Aku tidak benar-benar merencanakan ini‒but then again, I'm not exactly a planner. Are you a planner, Steve?"

"Aku bisa bilang aku punya time table yang rapi," kata Steve. "Tapi itu berarti kau oke dengan go with the flow?"

Tony menarik tangan Steve dan membuat si pirang berdiri di depannya, duduk di atas meja. "Then can we take the night slow?"

"Bayaranku per jam. Kita bisa langsung ke inti dan aku akan segera pergi."

"Kau minta berapa untuk semalam?"

What We DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang