Chapter 5

534 54 5
                                    

Disclaimer: fanfiksi ini terinspirasi dari film Pretty Woman (1990)--dengan beberapa modifikasi menyesuaikan karakter. I do not own any of these characters or the story plot. Hanya menulis karena hobi. I do not gain anything from this fanfiction.

Warning: adult themes dan konten sugestif, tapi tidak ada penulisan eksplisit

--------

------

(song: Pretty Woman - Roy Orbison)

------

Steve terbangun oleh teriakan nyaring dari Tony tepat di sebelah telinganya. Steve menyipitkan mata, membiasakan dengan sinar terang di sekitarnya. Tony sudah berpakaian rapi, mungkin juga melemparkan tubuhnya sendiri menindih Steve (mungkin karena itu Steve merasa tubuhnya ditabrak saat bangun).

"Morning! Kita harus pergi berbelanja," kata Tony, yang berada di atas tubuh Steve. Dia sama sekali tidak peduli suit yang dia pakai akan menjadi kusut karena itu.

"Hei, pagi," kata Steve, suaranya masih serak. "Belanja lagi?"

"Aku heran kenapa kau hanya membeli satu pakaian."

Steve mengeluh. Sebenarnya dia tidak begitu suka kalau harus kembali jalan-jalan di Fifth Avenue untuk membeli pakaian lagi. Ingatan mengenai tingkah laku buruk dan pegawai-pegawai yang mengusiknya kemarin masih segar dalam ingatannya. Dipikirnya dia hanya perlu satu set pakaian saja (pakaian itu masih sangat bagus dan masih tergantung di sofa).

"Aku tidak suka berbelanja. Orang-orang itu memiliki perangai yang buruk," kata Steve, duduk malas-malasan. Tony memelototinya seperti kalimat Steve barusan adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah dia dengar seumur hidup.

"Mereka berlaku buruk padamu?" tanya Tony heran. "Well, I should've shown myself, then." Tony mencoba mengangkat tubuh Steve melalui ketiaknya, meskipun Steve tidak banyak bergerak karena berat badannya, tapi Tony hanya menggesturkan agar Steve segera bangkit dan memakai pakaian.

------

------

Tony melajukan mobilnya kembali ke daerah Fifth Avenue. Steve tidak bisa diam dan terus bergerak gelisah karena lagi-lagi orang-orang yang berjalan disana seperti memindainya tanpa henti karena pakaiannya yang dikenakannya saat ini kembali kaus putih dan jeans robek-robek.

Steve mengikuti langkah Tony dengan gugup. Dia menoleh kesana kemari, memastikan orang-orang yang melihatnya dengan pandangan aneh. "Toko-toko disini tidak ramah pada seseorang."

"Toko tidak pernah ramah pada orang. Mereka ramah pada credit card," kata Tony, menggandeng tangan Steve. Akhirnya mereka sampai di depan sebuah toko pakaian. Tony menoleh pada Steve, "berhenti gelisah. Aku akan pastikan mereka memperlakukanmu dengan baik."

Sangat mudah untuk dikatakan kalau Tony tidak pernah dipandangi seolah dia seperti alien. Steve menghembuskan napas dan mengikuti Tony yang masuk ke dalam toko terlebih dahulu. Seorang pria dengan pakaian jas yang rapi‒Steve bisa membaca tag namanya di baju itu, orang itu seorang manajer. Seorang manajer yang segera menyambut Tony dengan tangan terbentang, seolah menyambut seorang raja. Tony tentu sudah terbiasa diperlakukan seperti itu, Tanpa melepaskan kacamata hitam yang dikenakannya, Tony menyondongkan tubuhnya pada si manajer dan mengeluarkan kartu hitamnya di depan si manajer. Steve bisa melihat adegan itu seperti seseorang yang sedang melambai-lambaikan tulang pada seekor anjing.

"Kau punya barang bagus untuk pria tampan ini?" tanya Tony, mengaitkan tangannya di pinggang Steve dan menempel pada tubuhnya. Steve tidak tahu harus memasang wajah yang seperti apa melihat kelakuan Tony yang seperti ini.

What We DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang