Hari ini adalah hari Rabu, dimana jadwal jam pelajaran pertama kelas Irena adalah olahraga. Jika biasanya jam 6 tepat Irena sudah bangun, maka kali ini ia masih bersembunyi di balik selimut tebalnya.
Bukan karena malas, tapi Irena sengaja tidak ingin berangkat sekolah khusus untuk hari ini saja. Irena tidak siap menghadapi hidupnya yang sebentar lagi akan berubah. Entah mengapa bisa ia berpikiran buruk seperti itu, Irena hanya merasa feeling saja.
Sampai menit telah menunjuk di angka 15, Irena masih belum mau beranjak. Berkali-kali ponselnya berdering tapi ia biarkan begitu saja. Irena tidak ingin diganggu oleh siapapun kali ini. Biarkan Irena sendiri.
"Inget ya Ren, waktu lo cuma 1 bulan lebih 1 minggu."
Ah sialan!
Ucapan Deva selalu saja terngiang di kepalanya. Bagaikan mimpi buruk, Irena tak bisa melewatkan satu hari begitu saja. Tantangan dari Deva terlalu sulit untuk ia lakukan walaupun waktu yang terbilang agak cukup lama. 1 bulan bukanlah waktu yang terbilang singkat, tapi terlalu singkat jika ia lewatkan meski hanya untuk satu hari saja.
Dengan sangat terpaksa Irena bangkit lalu berjalan menuju kamar mandinya. Misinya harus ia mulai hari ini juga. Jangan sampai ia melewatkannya. Waktu terlalu berharga jika ditunda-tunda.
Baru saat kakinya akan masuk melewati pintu, ponselnya bergetar begitu saja. Mengurungkan niat Irena untuk mandi, apalagi ia ingat kalau sedari tadi ponselnya sudah berkali-kali berdering. Ia berlari kecil untuk memastikan panggilan dari siapa kali ini. Sembari dalam hati berdoa supaya bukan mbak rentenir alias Zahra si bendahara kelas yang menghubunginya, Irena masih kritis soal uang.
Melihat id panggilan yang ternyata dari Deva, ia reflek berdecak. Tangannya cepat menggeser tombol hijau dan segera menaruh ponselnya pada telinga.
"Ada apa gerangan neror gue di pagi buta gini?"
"Gue mau detik ini juga lo berangkat,"
"Hee?" Irena terkejut, pandangannya berputar melirik jam dinding yang ada di kamarnya. Masih pagi kok, batinnya melihat waktu masih menujuk pada angka 6:20.
Biasanya juga Irena berangkat sampai sekolah jam 7 lebih dua detik. Itupun dia gak pernah memaksa atau menanyakan kenapa ia selalu berangkat jam segini, dan sekarang nyuruh Irena berangkat detik ini juga? Astaga, bahkan Irena belum mandi sama sekali.
"Gue baik sama lo, kak Yoga berangkatnya 5 menit lagi. Lo harus bisa cari moment yang pas buat pura-pura apa supaya dia kenal sama lo."
Irena memutarkan kedua bola matanya jengah. "Tau banget kayanya lo, ya?"
Irena jadi terheran. Pasti dugaanya benar, kalau sebenarnya Deva yang ada sesuatu sama kak Yoga tapi dia memperalat Irena alias menjadikan Irena kambing hitam.
"Buruan woi, berangkat."
"Gue belum mandi coy!"
"Lo gak berniat kabur, kan?"
"Mana ada, gue bukan pecundang." balas Irena sedikit kesal.
"Yaudah buruan mandi, hati-hati, biasanya anak OSIS suka keliling. Kebijakan seminggu yang lalu gara-gara manusia sejenis lo banyak."
"Lebih horor lagi Mami, anak OSIS mah sampingan." Irena menjawab dengan santai.
"Piketnya Mami kan sekarang, lupa lo?"
Mata Irena melotot mendengar ucapan Deva dari seberang sana. Reflek, tangannya menepuk jidat. Ia lupa kalau sekarang Rabu dan jadwalnya Mami piket alias si Ibu tiri bawang putih. Dengan secepat kilat Irena memutuskan sambungannya dan melempar ponselnya sembarang arah. Ia segera berlari ke kamar mandi untuk mengejar waktu.
Lebih baik berurusan dengan Yoga si kampret yang songongnya kebangetan ketimbang berurusan sama Mami Tiri.
****
Hanya butuh waktu 10 menit untuk Irena siap segalanya lengkap dengan make up simpelnya. Selain jadi jenius yang tersembunyi, bakat Irena adalah melabuhi waktu. Seorang Irena gak semudah itu untuk di kejar waktu, yang ada dirinya yang mengejar waktu.
"Langit?" ujarnya ketika tengah turun melewati tangga dan melihat seorang cowok duduk anteng menikmati nasi goreng di meja makan.
"Ngapain lo disini? Gak ada hujan, gak ada petir, jadi curiga gue."
"Urusan." jawab Langit singkat tetap fokus menikmati nasi goreng buatan Nyokap Irena yang baru saja pergi 10 menit sebelum keluarnya Irena dari kandangnya.
"Gue tau! Lo mau ganti provesi jadi tukang ojek gue, kan?" ucap Irena mendekat ke meja makan dan menyambar satu roti tawar yang tersedia. "Pas banget, buruan anterin gue, udah telat nih."
"Gak."
"Kenapa?"
"Nih!" Langit menyerahkan amplop putih pada Irena. "Nitip, ya."
"Sialan lo, dateng kalau lagi ada mau." Irena menerima amplop itu dengan malas.
Bukan rahasia lagi kalau Langit sering ijin alias bolos secara baik-baik. Bodohnya Irena juga mau-mau aja kalau di titipin Langit surat bolosnya.
"Manusia."
"Ayolah bentaran doang, masa lo tega biarin anak secantik gue harus nahan pipis akibat gak dapet angkutan?"
"Gak lucu."
"Sapa juga yang ngelucu," Irena mengerucutkan bibirnya. "Lo kan sayang gue, anterin dong!"
"Gak."
"Ah kampret, sia-sia gue ngomong sama pisang macem lo!" Kesal Irena menaruh roti tawarnya yang tinggal setengah itu ke piring. "Punya jantung gak punya hati."
"Hmm."
"Tau ah, yang penting ntar malem pokoknya lo harus beliin gue 10 makanan favorit gue atau gue laporin lo ke Om Atlas." ucap Irena menyebut nama Bokap Langit.
"Beres."
"Duluan!" Pamit Irena sembari berlari dengan memasukkan surat Langit ke dalam tasnya.
Sementara Langit masih duduk anteng menikmati nasi gorengnya.
Dasar cowok laknad!
Untung cuma temen enggak demen. Manusia macam Langit yang hatinya batu gak bisa merasakan orang lain itu emang gak pantas di sukai, lagipula yang suka Langit udah banyak. Irena gak perlu jadi daftar satu dari seribu juta orang yang suka sama cowok modal tampang tapi gak ada hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELCOUTH
Teen Fiction[REVISI] Seperti Senja yang membawa pergi kenangan, kamu bisa jatuh hati dengan siapapun tapi kamu gak akan pernah tau pada siapa akhirnya hatimu akan berlabuh menetap. - IRENA -