Duduk anteng di depan layar TV dengan seribu cemilan yang tersedia di meja ruang tengah membuat Irena begitu nyaman sampai mampu melupakan Baby yang masih ada di tangan Yoga.
Bahkan sampai tak sadar posisinya telah berubah menjadi tiduran di sofa dengan kaki yang di atas dan tubuhnya di bawah. Matanya masih terus saja tak mau lepas melihat drama korea kesukaannya. Di tambah posisi Nyokap Irena sedang pergi ke Jogja dan Bokapnya yang masih ada tugas di luar kota.
Hanya dia sendiri dan beberapa asisten rumah tangganya di rumah ini. Irena sudah terbiasa akan hal ini bahkan jika tiba-tiba Langit datang dengan cara membuat jantungnya lompat sekalipun.
Ah membicarakan Langit, Irena jadi kesal dengan kejadian kemarin. Irena sama sekali gak nyangka kalau Langit beneran ninggalin dirinya dan pulang bersama Febi.
Sialan, untung saja cowok kampret itu masih mau bertangung jawab. Kalau tidak, entah harus dengan cara apa Irena pulang sementara posisi jam sore mendekati petang angkot maupun yang lainnya sudah tidak ada yang lewat.
Kenapa Irena bisa pulang sampai sesore itu?
Karena Irena terpaksa ikut Yoga, mendadak jadi asisten untuk acara rapat yang sama sekali Irena gak paham dan rapat itu baru berakhir setelah jam 5 sore. Mana belum langsung pulang, Yoga kembali membuat Irena berpikir keras sampai akhirnya tugas dadakan sebagai asisten Yoga baru berakhir setelah jam 5.30PM.
Meski menonton drama korea adalah yang Irena suka, matanya tetap akan mengantuk apapun yang terjadi. Seperti kali ini, dia sudah mengolet sesekali menguap. Lebih dulu menurunkan kakinya sebelum memilih memejamkan mata sebentar.
Brukkk..
"Astaghfirullah!" reflek Irena bangun dari posisi tidurnya dengan jantung yang sudah berdetak tak karuan saat tiba-tiba sebuah kantung kresek jatuh dari atas.
Irena menoleh melihat pelakunya yang tengah bersedekap dada. Tampangnya begitu santai seakan tidak punya dosa. Hanya memperhatikan Irena dengan wajah datarnya.
"Kampret ya lo, bisa gak kalau dateng gak usah pake acara gue jantungan, berapa?!"
"Seribu." jawabnya singkat masih dengan wajah datar.
"Apaan sih, gak jelas." Irena meraih kantung kresek yang jatuh tadi lalu membukanya. "Kok bakso aci?"
"Iya."
"Langit, lo tuh bisa gak sih ngomong bener!" kesal Irena menatap cowok yang bernama Langit itu dengan sorot mata tajam. "Jangan cuma sekata dua kata dong."
"Gue mau makan." ucap Langit berjalan meninggalkan Irena yang masih kesal.
Sementara Irena hanya mendelik geram. Tatapan matanya masih menyorot tajam ke arah Langit yang saat ini tengah berjalan menuju ke arah dapur.
"Gendeng!" Irena menaruh kantung kresek ke meja dan kembali rebahan di sofa.
Melanjutkan kembali acara nontonnya yang tertunda karena kedatangan tamu tak di undang itu. Bodo amatlah sama Langit mau apapun dia di dapur sana Irena sama sekali gak mau peduli. Selagi drama korea yang main peran cowoknya seganteng pangeran khayangan yang jatuh dari surga, mau ada gempa juga Irena gak akan peduli itu.
*****
"Eh pangeran kelas berangkat juga nih akhirnya!" seru Dewa yang sedang main catur di bangku pojok belakang bersama dengan Raga.
Sementara pemilik nama Langit hanya melirik tanpa mau menjawab. Dia berjalan menuju ke arah bangkunya dengan wajah datar dan penampilan yang sama sekali seperti tidak niat sekolah. Rambut acak-acakan, seragam berantakan, gak bawa tas, pakai sabuk juga tidak.
Semua anak kelas yang melihat sempat heran tapi mereka memutuskan diam dan kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
"Ngapa lo bos?" tanya Dewa masih memperhatikan Langit berbeda dengan Raga yang cuek saja.
"Patah hati ya lo!" lanjutnya sembari tertawa sembari tangannya menggeplak bahu Raga kasar.
"Goblog!" Raga balas menggeplak Dewa lebih keras.
"Anying panas hasu." protes Dewa mengusap bahunya yang terkena tamparan dari Raga.
Sementara Langit sudah bodo amat dengan kedua kembar sableng itu. Dia lebih memilih duduk dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangannya sebagai bantalan di atas meja. Tidur, itu pilihannya.
Dan di sisi lain ada seorang gadis yang terlihat kesal dengan tingkah Langit yang gak jelas begitu.
"Nasehatin." ujar Deva lirih pada Irena.
Irena mendongakkan kepalanya untuk menatap ke arah Deva. "Apanya?"
"Temen rasa pacar lo itu."
Mendengar jawabannya Deva, dahi Irena berkerut lalu menoleh ke arah Langit yang tengah tiduran dan kembali lagi menatap Deva.
"Lah kapan dia masuk kelas?" tanya Irena pada Deva.
Jelas Irena tidak tahu kapan Langit datang karena sedari tadi fokusnya ada pada selembar kertas dari Yoga yang ia dapat ketika melangkah masuk ke dalan gerbang SMA.
Selembar kertas yang menjadi surat perjanjian di atas materai untuk Irena bisa mendapatkan baby kembali.
"Lupakan." jawab Deva sembari membuka buku paket bersiap untuk tempur dengan segala materi yang belum dia pelajari.
Irena yang melihat hanya mengendikkan kedua bahunya dan kembali membaca isi surat perjanjian itu dengan teliti.
Surat Perjanjian Di Atas Materai
Di bawah ini yang bertanda tangan,
Nama : Sairish Irena Sevtya
Kelas : 10 Mipa 3Menyatakan dengan ini setuju untuk melakukan beberapa persyaratan mengenai hak-hak yang berlaku untuk kedua belah pihak.
Adapun syarat-syarat yang harus di penuhi :
1. Jam 7.30Am sudah berada di dalam kelas. Jika terlambat harus siap menerima konsekuensi di hari Minggu ikut menjadi panitia bazar amal tanpa terkecuali.
2. Setiap pulang sekolah wajib hadir ke ruang OSIS bagian Mading menemui ketua mading dengan batas maksimal 10 menit setelah bel berbunyi. Jika melanggar harus siap menerima konsekuensi untuk membersihkan seluruh ruangan OSIS tanpa terkecuali.
3. Selama Baby yang kata Sairish Irena ini namanya Yoga sita, dia bisa pakai HP Yoga dengan satu syarat tidak boleh mengabaikan apapun pesan/panggilan masuk dari Yoga. Jika melanggar harus siap merelakan Baby selamanya.
4. Dan jika yang bersangkutan menolak atau tidak bersedia melakukan maka pilihan hanya ada satu, MENJADI ASISTEN YOGA SAMPAI LULUS.
Demikian syarat-syarat perjanjian yang harus dipatuhi selama 40 hari ke depan. (Silahkan tanda tangan di atas materai 6000 ini dan serahkan langsung pada pemegang perjanjian ini)
Sekian dan terimakasih.
Irena melongo membaca isinya. Berulangkali ia membaca tapi masih saja tidak percaya dengan isinya. Bagaimana mungkin seorang Yoga kampret memegang penuh atas kendalinya? Ini gak bisa di biarain.
Irena meremas kuat selembar kertas itu dan memasukkannya ke dalam laci. Persetan dengan segala sanksi yang cowok itu katakan. Untuk apa mematuhi permintaan dari seorang cowok kampret macam Yoga setan itu. Gak guna banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELCOUTH
Teen Fiction[REVISI] Seperti Senja yang membawa pergi kenangan, kamu bisa jatuh hati dengan siapapun tapi kamu gak akan pernah tau pada siapa akhirnya hatimu akan berlabuh menetap. - IRENA -