SEPULUH

181 11 3
                                    

Di depan ruangan BK, gadis rambut panjang yang punya muka cantik ngegemesin itu tak langsung masuk. Lebih dulu duduk dengan kaki bersila satu sembari memeluk tasnya. Pandangannya mengedar menuju ke arah halaman yang terhubung, satu persatu menatap para murid yang berlalu lalang.

Kembali lagi menarik pandangannya jadi kembali fokus dan mendesah kesal. Dua curut yang Irena tunggu tak kunjung menyusulnya di sini. Padahal Irena ingin segera pulang dan membuat seblak, ramen serta yang lainnya. Kelihatan enak. Perut Irena bahkan sudah meronta sedari tadi.

"Gue nyuruh lo ikut, bukan nongkrong jadi cabe." suara datang tiba-tiba dari belakang yang membuat Irena sontak menoleh dengan kaget.

Reflek berdiri begitu tau yang dia lihat adalah seniornya yang tadi menyuruh dirinya untuk ikut. Dia Yoga, siapa lagi memang.

"Kenapa harus nurut, Kakak gak bilang alasannya apa." balas Irena.

Yoga berdecak, mengubah kedua tangannya jadi bersedekap dan menatap adik kelasnya itu dengan teliti.

"Si kembar beda gen itu gak ngasih tau lo?"

"Dewa, Raga?" tanya Irena sementara Yoga hanya mengangguk. "Enggak, dia malah nyuruh gue ngadep sama guru BK. Tentang Langit katanya."

"Ck!" decak Yoga sembari mengubah pandangannya sembarang arah dan kembali lagi menatap adik kelasnya tersebut. "Bagus juga alasan mereka."

"Maksudnya?"

"Pantes Langit betah temenan sama lo, hati lo terlalu polos sampai gak punya curiga sedikitpun."

"Ngomong apa sih, gue gak ngerti."

"Gak ada. Udah ikut gue, gak usah nunggu yang lain, gak bakal dateng." ujar Yoga setelah itu langsung menarik tas punggung Irena yang memang sudah menempel di punggung gadis itu.

"Anjir!" refleks Irena kaget saat tiba-tiba dirinya tertarik dengan kejadian yang sama persis seperti kemarin. Di tarik oleh seorang Yoga secara paksa seperti anak sapi, bedanya kalau Irena secara tidak hormat.

"Yang bener dong Kak, gue bisa jalan sendiri."

Yoga berhenti menatap Irena sebentar sebelum akhirnya melepas tangannya untuk menjauh dari gadis itu.

"Bagus." hanya itu yang keluar dari mulutnya dan berjakan pergi lebih dulu tanpa menunggu balasan Irena.

"Kampret!" Irena memandang kesal pada Yoga yang seenaknya. "Mentang-mentang dia senior yang mergokin gue mau bolos jadi bisa seenaknya gitu?"

"Kalau orang kampret mah mau apapun juga tetap aja jadi kampret." gumam Irena terus menatap dalam diam di tempatnya dengan kesal.

"Gue denger, jalan atau gue sebarin hobi lo yang langka itu."

Kedua bola mata Irena melotot mendengar perkataan Yoga barusan. Tak mengerti tapi tiba-tiba saja terlintas dalam pikirannya kalau Yoga tau dirinya adalah pecinta segala anime dan komik manga.

"Sialan!" umpat Irena sebelum memutuskan untuk mengikuti Yoga dari belakang dengan jarak yang cukup.

Irena terus menggerutu dalam hati. Mengomeli segala sikap seniornya yang kampret itu. Bahkan sampai Irena sama sekali gak ingat akan tantangan dari Deva. Yoga terlalu menyebalkan untuk menjadi target, memang ada bagusnya kalau Irena lupa soal tantangan unfaedah itu.

******

Di kedai yang jaraknya tak jauh dari sekolah. Seorang cowok yang memakai kaos putih dengan celana abu-abu milik seragam, terduduk nyaman bersama bahunya yang menyender pada punggung kursi di pojokan.

Menikmati wi-fi gratis dan memainkan game yang ada di ponselnya sembari menunggu orang yang dia tunggu tersebut datang.

"Langit?"

Panggilan tersebut memaksanya mengalihkan perhatian dari layar ponsel untuk melihat siapa yang memanggilnya. Hanya dua detik sebelum akhirnya kembali menatap layar ponsel.

"Sori, gue dateng atas permintaan Irena. Dia bilang masih ada urusan di sekolah, lo suruh nunggu." ujarnya langsung pada intinya.

Sementara cowok itu hanya berdehem saja. Tingkahnya yang seakan tidak menyambut, Febi, cewek yang baru datang itu kebingungan. Haruskah dia masih di sini atau pergi saja?

"Lo mau gue temenin atau gue pulang aja?" tanya Febi masih menatap Langit dengan sedikit bingung.

"Serah lo." hanya itu yang keluar dari mulut Langit. "Kembar sialan itu mana?"

"Irena bilang urusannya sama mereka juga."

"Oke." jawab Langit mematikan layar ponsel dan menyambar jaket miliknya yang ada di atas meja sebelum kemudian bangkit berdiri.

"Gue balik, mau ikut?" tawar Langit pada Febi yang cuma diam berdiri.

"Kalo lo gak keberatan, gue ikut sekalian sama lo." jawab Febi.

"Oke." Langit langsung berjalan mendahului Febi yang masih di buat tak percaya oleh sikap Langit barusan.

Yang Febi tau, Langit gak pernah mau nemenin atau nganterin pulang cewek manapun terkecuali Irena. Langit bilang dia bukan tukang ojek, jikalau ada cewek ganjen yang tiba-tiba meminta tebengan. Tapi Febi juga tau kalau Langit mau jadi tukang ojek Irena di saat cowok itu ada perlu dengannya.

Sementara posisi dirinya dengan Irena gak sama. Ibarat langit dan tanah yang sangat jauh. Meski memang Langit suka datang kalau dia ada perlu dan itu selalu tentang Irena, mendapat tawaran langsung dari Langit sendiri merupakan rejeki nomplok yang gak boleh di tolak karena pasti tidak akan terjadi kedua kalinya.

TINNNN!

Suara klakson motor mengagetkan dirinya. Rupanya itu ulah Langit yang saat ini sudah di posisi naik motor putih kesayangannya itu. Hampir saja Febi terus melamun, setelah sadar dia langsung berlari menyusul Langit.

Di sepanjang perjalanan rasanya hening teramat hening bagi Febi. Langit sama sekali tak mengajaknya bicara tetapi dia memaklumi itu. Seharusnya dialah yang harus memulai jika memang ingin tercipta obrolan.

"Lang, gue nanya boleh?"

"Hmm."

Febi terlihat ragu tapi dengan sekali tarikan napas, dia melancarkan aksi tanya yang membuat dirinya penasaran. "Rumor tentang lo sama Deva jadi trending topik, apa rumor itu bener?"

"Siapa lo, nanya privasi ke gue."

Seketika Febi langsung kicep mendapat jawaban itu. Merutuki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh, benar-benar bodoh. Yang ada di hadapannya saat ini adalah Langit bukan orang lain.

"Oke, sori, gue cuma nanya dan lo gak perlu jawab kalau gak mau." balas Febi dengan takut. Takut kalau dirinya akan di turunkan di tengah jalan seperti ini padahal jarak rumahnya masih ada 20 menit lagi.

Selanjutnya tak ada lagi percakapan, hanya ada suara motor dan angin yang terdengar. Febi diam, Langit fokus pada jalanan. Raut wajah langit benar-benar datar.

Untung saja Febi tak pernah mengajukan pertanyaan perihal hubungannya dengan Irena. Tak pernah bisa Febi bayangkan jawaban apa yang akan dia dapat jikalau dia nekat.

Meski sejujurnya Febi penasaran, Langit itu menganggap Irena sebagai apa dan kenapa mendadak ada rumor tentangnya dan Deva? Kenapa bisa sampai Irena sama sekali tidak tau tentang rumor itu?

SELCOUTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang