TUJUH

323 16 0
                                    

Hidup tanpa ponsel hanya sebagian orang yang bisa melakukan itu. Namun untuk sejenis manusia semacam Irena yang tiap harinya gak bisa lepas dari ponsel, waktu satu detik saja bisa jadi bagai satu menit.

Irena, gadis itu sedari tadi hanya guling-guling gak jelas di atas kasur empuk ternyamannya. Dia sendiri gak habis pikir, apa untungnya bagi Yoga menyita ponsel selama itu?

Eh, tunggu sebentar. Faktanya bukan Yoga yang menyita terlalu lama, tapi memang Irena sendiri yang belum kembali menanyakan selepas pulang sekolah tadi.

"Aishh" Irena menepuk dahinya pelan dengan telapak tangannya. "Gue tadi kepikiran apaan sih, sampe lupa kalau hp masih di tangan si kampret itu?"

Geram dengan dirinya sendiri sampai bantal jadi korban. Irena memukul-mukul bantal gulingnya beberapakali dengan geram.

"Pantes Mbah buyut kakek Elbert Einsten gak mau ngakuin gue sebagai keturunnya. Gue pikun gini, males pasti kalo mau ngakuin."

Terus mengoceh sendiri sampai tidak sadar kalau waktu sudah terlalu larut bagi seorang gadis baik-baik tetap berada dalam kesadaran.

12:30 Am. Harusnya Irena sudah tidur, bukannya ngoceh gak jelas dan menggulingkan dirinya kesana-sini.

"Harusnya gue gak usah bego banget sampe nerima tantangan unfaed dari si dedemit satu itu." celoteh Irena sembari menarik guling untuk ia peluk seerat mungkin.

"Harusnya gue udah tenang nyungsep disini, sambil sekrul atas-bawah geser samping-kiri mantengin calon suami gue yang ada di korea!"

Mata Irena melotot menatap langit-langit kamarnya yang ia bayangkan ada wajahnya Yoga.

"Bukannya terus mikirin Beby yang jatuh ke tangan si kampret!"

Masih terus mengoceh dengan mata yang kian membulat, Irena membuat ekspresinya terlihat begitu sengit. Dia melakukan ini karena Beby, nama dari ponsel kesayangan Irena. Dia ingin seluruh saksi bisu turut mengerti betapa semakin tak suka jiwa dan raganya terhadap seorang yang bernama Yoga Pradifta.

"Gue lepasin kali ini, dasar setan!" Irena setengah berteriak greget.

Kemudian tangannya menarik selimut untuk menutupi dirinya, agar bisa terlepas dari suhu dingin yang menusuk pori-pori kulitnya. Badannya ia gerakkan menyamping kanan sembari mematikan lampu kamarnya.

"Lihat aja besok. Jangan ngarep lo bisa lepas sedikitpun dari gue. Malam ini gue bakal yasinin lo sampe besok pagi lewat mimpi gue!"

Selesai mengucap kalimat itu, Irena buru-buru memejamkan matanya dan mulai ingin bermimpi. Semoga harapannya terkabul.

****

Jam 06:10 Am. Semua orang di meja makan di buat tercengo oleh kehadiran seorang gadis bungsu di rumahnya. Hal yang mungkin baru pertama kali terjadi dan seperti sebuah mimpi.

Seorang Sairish Irena Sevtya anak paling bungsu mendadak sudah rapi lengkap dengan seragam, tas dan sepatunya di jam yang seharusnya masih menjadi mimpi kebiasaan untuk gadis itu sendiri merupakan hal aneh yang patut di pertanyakan.

"Lo kesambet apaan, Dek?" Sevy bertanya dengan muka yang masih tak percaya.

"Gak kesambet apapun, Dedek sehat kok."

Jawaban yang terkesan santai yang baru saja keluar dari sang objek itu tak menghentikan rasa penasaran satu keluarga untuk terus menatap Irena.

"Papa juga ngerasa aneh, kamu lagi gak ada masalah, kan?"

Irena menoleh menatap Papanya dengan sedikit bingung. Laki-laki tertampannya itu masih saja terus menatap dirinya seolah-olah yang dia lihat adalah fana. Bukan hanya Bokap, tetapi Nyokap bahkan sampai Sevy kakaknya Irena dan juga Mbok Iyem asisten rumah tangga yang turut hadir.

"Kalian kenapa sih, gitu banget lihat dedek bangun pagi. Salah?"

Lantas semua orang langsung mengalihkan pandangannya dan kembali ke aktifitas sebelumnya setelah menjawab kompak kalimat Irena dengan jawaban, "gak."

Irena menghela napasnya pelan sembari memutarkan kedua bola matanya. Apa ini efek gara-gara semalam penuh Irena yasinan dalam mimpi, sehingga semua orang jadi melihat dirinya aneh?

Eh atau memang dirinya yang mendadak aneh?

Ya bagaimana bisa di percaya, seorang Irena bisa bangun sepagi itu. Kalaupun bisa pasti lebih dulu memilih menghabiskan waktunya bersama bantal guling sampai nanti matahari benar jadi matahari.

"Gak panas kok," ucap Sevy sembari telapak tangannya menyentuh dahi Irena. "Atau kemarin lo abis nabrak kereta?"

"Ngaco, kalo nabrak udah tahlilan kalian."

"Bener juga, terus lo kebentur apaan?"

Irena menghela napasnya pelan. Lama-lama berada di sini jadi bikin Irena ingin nyungsep kembali di tempat tidurnya. Bangun pagi aneh gak bangun pagi salah. Dasar netijen, komentar mulu sukanya.

"Yaudahlah, aku berangkat duluan." Pamit Irena menyalami satu-satu dari Bokap, Nyokap sampai Sevy dan Mbok Iyem.

"Gak usah natap aneh terus. Harusnya seneng dong, putri paling bungsu di rumah ini akhirnya rajin." ujar Irena memberi jeda sembari menatap ke arah mereka satu-satu.

"Irena tuh mau buktiin ke mbah buyut kakek Elbert Einsten, kalau Irena juga pantes mengakui dirinya sebagai keturunannya!"

Selesai mengucap kalimat itu Irena bergegas keluar rumah meninggalkan 4 orang itu dengan tatapan cengo. Astaga pagi-pagi udah bikin orang merasa hilang akal.

Ketika Irena sampai gerbang, ia terkejut melihat kedatangan Langit yang udah nangkring di atas motor gede warna putihnya. Rambutnya berantakan, tapi wajahnya gak peenah berubah. Tetap datar dan ganteng sih memang.

Cowok itu memakai jaket hitam dengan celana warna putih dan sepatu tali senada dengan celananya. Irena cukup tau kalau cowok itu pasti dari rumah pamitnya sekolah, seperti kemarin.

"Lo mau bolos lagi?" Irena seakan tau kebiasaan Langit.

"Hm."

Mendengar deheman yang singkat Irena langsung berdecak. Cowok itu selalu datang pagi-pagi ke rumah Irena ya pasti kalau lagi ada maunya. Gak mungkin cowok itu mau repot-repot jadi tukang ojek kalau memang tujuannya ke sekolah.

"Terus?"

Langit tak langsung menjawab, tangan cowok itu meraih tas hitam yang ada di belakang punggungnya. Membuka resleting dan mengeluarkan satu buku.

"Raga."

Alis Irena terangkat saat cowok itu menyodorkan buku yang tadi dia keluarkan.

"Nitip." ucapnya Lagi.

"Oh," Irena yang baru paham akhirnya menerima buku itu. "Tadi malem lo gak datang, lo kemana sih!"

"Ada."

"Ya ada tuh dimana? Jelasin posisi lo."

"Ntar pulang sekolah gue jemput."

Lagi-lagi Irena berdecak dengan muka yang udah menahan kesal. "Ngapain?"

"Nepatin janji."

"Siapa yang janji?"

"Gue."

Bola mata Irena berputar kesal dengan napas yang terhela kasar. Ia memutuskan untuk pergi dari hadapan Langit tanpa pamit.

"Terserah!" ucap Irena tanpa menatap cowok itu dan masih melanjutkan jalannya. "Kalo mau hubungi gue lewat Dewa atau Raga aja, hp gue di sita."

"Hmm." Langit tetap menjawab dengan deheman meski tau mungkin Irena tak mendengar.

Setelah dia menatap Irena untuk memastikan cewek itu sudah agak jauh dari jarak rumahnya, dia memakai helm dan langsung menyalakan motor.

Langit melintas dengan kecepatan pelan pada awalnya namun saat sampai di samping Irena, dia langsung mengegas dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

Irena kaget dibuatnya dan sontak berhenti, ditatapnya Langit yang udah jauh itu dengan muka geram.

"Sialan emang tuh bocah!"

SELCOUTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang