Note : kata yang tercetak miring menandakan perkataan masa lampau.
SELAMAT MEMBACA ^^
Matahari semakin terik, menunjukkan siang hari. Terlihat tiga orang remaja yang sedari tadi sedang berbincang di rooftoop sambil menduduki sofa kosong menikmati jam istirahat nya.
Bagi mereka, di rooftoop ini banyak sekali seribu kenangan, mulai dari tempat pelarian, basecamp, tempat bolos, tempat mengerjakan pr, hingga tempat nongkrong saat istirahat. Banyak sekali memori suka dan suka di rooftoop ini. Tak jarang, selisih paham membumbui persahabatan mereka.
"Bro inget enggak waktu Gio lari kocar-kacir karena takut di suntik?" Aska memulai pembicaraan.
"Hahahaha ngakak banget sumpah, gue masih inget banget ekspresi Gio sampe mau nangis," dengan jahilnya Aksa memukul bahu Gio lumayan kencang dan terbahak. Terpaan angin menambah kenyamanan pada ketiganya.
"Heh kapan kampret? Gue ini gagah perkasa, kapan gue nangis?" Sahut Gio tak santai.
"Mungkin lo enggak inget, Gi," sambung Raka, wajahnya menahan tawa terlihat mesam mesem namun tak terbahak seperti Aksa. Tau cool boy senyum? Iya, sangat mempengaruhi kerja jantung.
Dulu, tiga tahun lalu. Saat Aska, Gio dan Raka masih kelas 10 SMA. Saat itu ada semacam suntik imunisasi. Setiap tahunnya tiap Sekolah Menengah Atas mewajibkan siswa/i untuk di suntik, dan para siswa pasti memberanikan dirinya untuk di suntik. Tapi berbeda dengan Gio.
Gio Sanjaya namanya, laki-laki humoris berbadan tinggi, kulit yang berwarna hangat, serta sedikit kumis tipis tipis di atas bibirnya. Perawakannya memang terlihat gagah dan menarik. Tapi, kalo soal jarum suntik dia langsung lari kocar kacir!
"Gio Sanjaya" salah satu suster cantik memanggil nama gio, yang artinya sudah giliran Gio untuk bertemu jarum suntik, si kecil yang menyakitkan.
Gio dengan gagah berani langsung maju ke depan dengan penuh percaya diri. "Nih men, gue buktiin kalo gue ngga takut sama jarum suntik" ucap Gio dengan percaya diri kepada kedua temannya.
"Kita liat aja,"
"Yoi,"
Saat Gio melihat jarum suntik di keluarkan, badannya mulai panas dingin. Seorang bidan mengusapkan kapas yang sudah dibasahi oleh cairan, tubuhnya semakin tegang. Terlihat keringat sebesar biji jagung keluar dan meloloskan dirinya tepat di kening mulus milik Gio Sanjaya.
Keringat yang meloloskan diri semakin sering, dengan tempo yang Gio bilang sangat cepat. Pria itu menelan saliva nya dengan susah payah, saat sebuah jarum runcing itu hendak di tusukan pada dirinya.
"Dok, ini enggak sakit kan?" tanya Gio dengan tatapan yang tak beralih dari si kecil menyakitkan.
"Enggak kok. Kamu rileks ya, santai aja, atur pernapasan kamu. Jangan tegang," jawab seorang bidan yang terlihat tengah menahan tawa.
"Enggak bakal mati kan?" Gio melontarkan pertanyaan ngawur nya. Terdengar helaan napas dari hidung Bidan di hadapan Gio.
"Enggak dong, baca Bismillah ya, Dik," ucap bidan meyakinkan.
"Bismillahirrahmanirrahim Allāhu lā ilāha illā huw, al-ḥayyul-qayyụm, lā ta'khużuhụ sinatuw wa lā na'ụm, lahụ mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, man żallażī yasyfa'u 'indahū illā bi'iżnih, ya'lamu mā baina aidīhim wa mā khalfahum, wa lā yuḥīṭụna bisyai'im min 'ilmihī illā bimā syā', wasi'a kursiyyuhus-samāwāti wal-arḍ, wa lā ya'ụduhụ ḥifẓuhumā, wa huwal-'aliyyul-'aẓīm." Gio membacakan ayat kursi dengan tempo yang semakin lama semakin cepat pada dirinya sendiri karena saking takutnya.
Pria itu bahkan sempat memejamkan matanya beberapa saat, sayangnya hanya sekitar lima detik.
"Tarik napas ..."
Gio menarik napas nya dalam dalam.
"...Buang,"
"Hahhh... MAMAAAAA!!!!" setelah membuang napas, matanya refleks melihat jarum yang berdekatan dengan lengan atasnya.
Gio benar-benar tidak bisa menahan rasa takutnya. Gio berlari dengan kecepatan yang tidak biasa saja meninggalkan ruangan.
"Lah, kok kabur??" ucap seorang bidan yang tengah keheranan.
"MAMA GIO TAKUT, MAH!!!" Gio berlari sambil menahan air matanya. Teriakan suaranya berhasil membuat siapa saja menengok kearahnya.
"Lah, itu si Gio, kok kabur?" Heran Aska.
"Dek, murid yang kabur temen kalian bukan?" tanya seorang pengawas sambil berlari mendekati mereka.
"iya, Pak. Kenapa?" Kata Raka.
"Tolong tangkep temen ade yang kabur ya," ujar pengawas tersebut.
"Teman saya bukan maling pak," celetuk Raka.
"Duh Raka! Kita kejar, ayo!" ajak Aska
Aska menarik tangan Raka agar Raka ikut lari mengejar Gio. Gio menaiki anak tangga, ia berlari tergesa-gesa menuju ke arah rooftoop. Saking cepat nya Gio, sampai mereka kehilangan jejak.
"Duh Gio nyusahin banget sih," celetuk Aska.
Riffaldy Aska Kusuma, pria yang biasa di panggil dengan nama Aska ini memiliki kepribadian yang cenderung berpikir realistis, apa adanya dan cepat tangkas. Memiliki rambut berwarna coklat, tahi lalat di atas bibir, serta bibi yang tipis. Kulit yang ber-tone warm membuat penampilan Aska sempurna.
"Kita cari ke Rooftop, ayok!" Ajak Raka sambil berlari menaiki anak tangga.
Sesampainya di pintu Rooftop, mereka berdua mendengar rintihan seseorang, seperti sedang menangis. Mereka melihat Gio yang sedang duduk dengan tangan di lipat menutup wajahnya, sembari menangis sesenggukan.
"Hiks... takut, hikss," rintihnya
"Gio? lo nangis?"
Mendengar pertanyaan Aska, dia langsung mendongakkan kepalanya.
"Enggak, gue nggak nangis, gue kelililipan aja" ujar gio menghapus air matanya.
Raka menatap iba Gio, ia melirik Aska sebentar sebagai kode agar bersama sama merangkul Gio. Pasti ada alasan di balik rasa takutnya ini. Apa Gio mempunyai trauma?
Raka Dhaffin Raditya, lelaki tampan yang berhati lembut itu sangat lengkap dengan kepribadian nya.
Mereka bertiga mengingat ingat kejadian dahulu, dan tawa langsung pecah seketika.
"Oh iye, gue inget banget waktu itu kan masih kecil ya, wajar," ujar Gio.
"Yaelah, takut mah takut aja, Bray," ledek Aska.
Raka hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keduanya.
TBC
Hallo readers, yu mari kenalan!!
Instagram author ; @ahrazzz_
Instagram editor ; @asnikaylaa
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVISHA
Jugendliteratur𝑻𝒆𝒓𝒌𝒂𝒅𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒋𝒂𝒕𝒖𝒉 𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂, 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒕𝒖 𝒔𝒂𝒋𝒂. 𝑴𝒆𝒔𝒌𝒊 𝒎𝒖𝒍𝒖𝒕 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒕𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌, 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒐𝒍�...