"Bagaimana kau bisa mengetahui tempat ini, Hanna-ya?"
Hanna mendongak menatap Rae Yu yang sedang menunduk memperhatikannya. Hanna tersenyum kecil. Mereka baru saja selesai membagikan kue pada warga kalangan bawah di daerah kumuh ini. Setelah berbincang sebentar dengan warga sekitar, keduanya memutuskan melanjutkan kencan mereka dan pergi dari sana. Tentu saja dengan diiringi tatapan penasaran tiap orang.
Hanna memang menepati janji karena tidak ada satupun orang yang mengenali mereka dengan penampilan ini. Tapi tetap saja, karena penampilan ini juga keduanya menjadi objek perhatian orang-orang. Walau mengenakan jangot, postur Rae Yu masih terlalu tegap dan besar untuk ukuran seorang perempuan. Hanna sendiri jauh dari kata gagah. Kesan lembut di wajahnya tak menunjukkan kemaskulinan sedikitpun. Meski perempuan itu sudah mengenakan sepatu dengan hak yang cukup tinggi, tingginya masih di bawah telinga Rae Yu. Mereka berdua memang ... pasangan yang cukup aneh.
"Ra Eun Eonni yang memberitahuku." Hanna menggoyangkan tautan tangan mereka. "Membagi makanan pada mereka yang membutuhkan adalah salah satu kegiatan yang sedikitnya harus kulakukan sebulan sekali."
"Harus?"
Hanna mengangguk sambil tertawa kecil. "Anggap saja penebusan dosa."
Kening Rae Yu berkerut bingung. "Dosa macam apa yang bisa kau lakukan? Di mataku kau bahkan tak akan sanggup memukul nyamuk."
Hanna memukul lengan Rae Yu sambil menggerutu. "Aku bukan perempuan manja Rae-ah." Protesnya. "Asal kau tahu saja, aku pernah berhadapan dengan perompak dan tanpa ragu menarik pedangku untuk melawan mereka. Aku bahkan menusuk jantung dua perompak yang berniat menyerangku. Ketika kakiku terkilir dan rombongan kami diserang perampok saat berdagang ke Sengoku, aku memanah orang-orang jahat itu dengan berani. Anak panahku sudah menembus kepala ketua perampok itu sebelum dia sempat bicara. Kau bisa bertanya pada Ra Eun jika tidak percaya. Dia saksi kehidupanku. Aku bukan perempuan lemah."
Hanna terlalu semangat membanggakan diri hingga tak menyadari perubahan wajah Rae Yu.
"Paman Tadashi bahkan menjulukiku pendekar perempuan paling berani di Ming. Kalau saja aku hidup di masa yang sama dengan Hua Mulan, mungkin prestasiku tak jauh darinya. Aku ini cantik, pintar, percaya diri, dan tak takut mati. Di Joseon sekalipun tidak akan ada--eh? Kita mau kemana Rae-ah?" Hanna berlari kecil mengikuti langkah tergesa Rae Yu. Lelaki itu membawanya ke dalam rumah kosong. Genggaman di tangannya mengerat dan Hanna belum dapat mencerna apapun saat ia melihat Rae Yu melepas jangot-nya hingga terjatuh ke tanah. "Rae-ah Jang--"Hanna tak pernah menyelesaikan ucapannya karena tangan Rae Yu dengan cepat menangkup rahangnya dan mendaratkan ciuman keras di bibirnya.
"Rae ... Ap--" Belum genap Hanna menghirup oksigen, Rae Yu sudah kembali menghambat saluran pernafasannya. Hanna kehabisan nafas karena Rae Yu menguasai bibirnya tanpa ampun. Jangankan membalas, Hanna bahkan tak bisa merasakan bibirnya. Ketika Rae Yu menarik diri, Hanna bisa merasa bibirnya jauh lebih tebal dari sebelumnya.
"Maaf..." Rae Yu mengecup air mata yang tanpa sadar mengalir di pipi Hanna.
Hanna mengerjap. Suaranya tercekat ketika bertanya, "Apa yang terjadi Rae-ah? Kenapa kau menyerangku se--" Hanna menelan ludah. "--sedahsyat itu? Bukannya kau bilang ingin melakukannya dengan benar?"
Satu tangan Rae Yu ada di pipi Hanna sementara tangannya yang lain ada di pinggang perempuan itu. Ia menarik Hanna mendekat sebelum menyatukan dahinya dengan dahi Hanna. "Tolong aku Hanna-ya..." Suaranya sarat kesedihan. "Tolong..."
Hanna menatap sang kekasih dengan raut campur aduk. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba? Apa Rae Yu berubah pikiran? Apa karena melihat live action adegan dewasa Ra Eun dan Gon, Rae Yu juga mau? Oh astaga, Hanna belum menyiapkan dirinya. Dia bahkan tak ingat mengenakan dalaman berwarna apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
HANNA'S WORLD
Historical Fiction[Warning : Tidak berkaitan dengan sejarah manapun] Dunia mengenal Kim Hanna sebagai sosok cantik, lemah lembut, bertalenta, dan tentunya sukses. Setiap orang yang melihatnya pasti menggigit jari karena iri. Walau berprofesi sebagai publik figur, wan...