Rangkuman dan Sebuah Penutup
Saya akan menyebut wadah berbagi ini sebuah buku daring. Setelah berlalunya waktu dan menengok ke belakang, Love Yourself Before Love Writing ini pertama saya tulis pada 2016, sudah beberapa kali berganti judul dan menjadi salah satu bukti perjalanan menulis saya selama empat tahun terakhir.
Ketika senggang, saya pernah mencoba kembali membaca tulisan-tulisan saya dalam buku daring ini. Hem, nggak apa-apa ya saya sebut begitu? Tulisan-tulisan di sini banyak menasihati saya yang sekarang, sampai kadang terlintas, kamu benar, aku hanya terkadang lupa. Lalu waktu berlalu, akun wattpad saya berjalan lambat setelah buku pertama saya terbit. Ada banyak hal terjadi dan memberi saya pelajaran. Berbanding terbalik dengan intensitas saya menulis, sekarang saya lebih banyak menyimpannya, seolah menyiapkan diri untuk sesuatu entah apa, seolah diri saya yang sekarang merasa perlu mengumpulkan se-ton bahan bakar yang saya biarkan mengendap. Terlalu banyak pertanyaan, keraguan yang dulu sempat membuat saya terus menyemangati diri, kini menjelma hal lain.
Mungkin ini salah satu quarter life crisis yang saya alami. Tapi saya mengingat lagi, selama penulisan aktif buku daring ini, sekitar 2016-2017, mengapa saya bisa benar-benar terasa benar? Saya tahu jawabannya. Akan saya beritahu kalau kamu nggak bisa menebaknya.
Saya menulis tiap judul di buku daring ini untuk menyemangati diri sendiri. Ketika itu, saya nggak pernah kehabisan kata-kata. Lalu semakin ke belakang, saya mulai berjalan keluar, membicarakan yang mungkin bukan kegundahan saya, hanya hal-hal dasar atau mungkin mengenai orang lain, atau juga untuk menyenangkan pembaca. Saya kehilangan minat sejauh ini. Ada banyak hal yang lebih menyenangkan daripada meracau di sini. Ya, ya, ini memang tempat di mana saya menggunakannya untuk meracau. Tapi, terlepas apa pun tujuan dibuatnya, saya merasa sangat berterima kasih karena masih juga ada yang membacanya.
Bukan sepenuhnya kabar buruk. Saya berniat mengakhiri buku daring ini. Mungkin ini sedikit salam perpisahan. Mari merancang awal yang baru, belajar dari yang telah lalu, dan lebih bijaksana memandang hidup ini.
Kita bisa, kan?
Akan ada banyak hal terjadi dalam perjalanan mengenal atau membentuk diri sendiri. Yang sayangnya, mau nggak mau harus kita lalui untuk bisa bertumbuh. Berapa usiamu sekarang? Apa saja yang sudah kamu raih? Apa yang ingin kamu raih? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti sering kamu dengar. Saya yakin dalam benak, kamu pasti memiliki jawaban yang beragam. Jika kamu membaca ini, terlepas seberapa berat bebanmu saat ini, percayalah keadaanmu saat ini nggak akan terjadi selamanya. Selalu ada jalan, sesempit apa pun, untuk maju, asalkan kamu menginginkannya.
Saya salah satu orang yang terlalu banyak berpikir dan memandang semua manusia sama rata, terlepas apa pun kedudukannya. Mungkin untuk sebagian orang hal ini dipandang menyebalkan. Manusia ingin dianggap bisa, ingin dipandang tinggi, tapi kalau kita memandang mereka sebagai manusia saja, lepas dari jabatan dan tugasnya dalam kehidupan—kita bisa berusaha mengerti mereka. Bagi orang-orang yang rendah hati, pasti menyenangkan jika ada orang yang melihat diri mereka sebagai pribadi. Kamu boleh menerapkan cara ini untuk mengatasi berbagai tantangan atau ketakutan. Cara ini membantu kita mengendalikan diri dalam berbagai situasi.
Menilik judul, sebagai penutup, izinkan saya menyampaikan kesimpulan.
Orang yang selama 24/7 selalu menemanimu ke mana pun. Tak ada seembusan napas pun terlewat tanpa kehadirannya. Semua luka atau tawa milikmu juga dirasakannya. Orang ini bisa selamanya menyertaimu tanpa pernah sekali pun kamu kenali. Dia adalah kamu. Dalam novel The Fault in Our Stars, John Green berkata, “Kata yang paling sulit didefinisikan adalah aku.”
Manusia hidup dan mati dalam siklus kehidupan, tapi tak semua dari mereka tahu untuk apa mereka hidup, mengapa mereka dilahirkan, tugas apa yang mereka emban untuk kehidupan, di mana tempat mereka seharusnya dalam hidup ini. Tidak semua orang memahaminya karena perlu waktu untuk berpikir, mengulang-alik luka, menghidupkan kenangan dan introspeksi yang kadang terasa seperti jauh dari kehidupan yang ramai dan bergerak deras. Jika setiap orang cukup sadar tentang siapa dirinya, tidakkah kamu pikir dunia ini akan jadi lebih baik? Manusia akan berperilaku lebih baik, tidak ada yang melakukan kejahatan atau menyakiti orang lain—oke, memang bukan begitulah kehidupan dirancang. Bukan untuk mengubah dunia saya menulis ini, tapi untuk kamu yang mungkin … selama ini merasa punya se-ton beban di punggung hingga hidup ini terasa membingungkan. Letakkan bebanmu, ambil satu per satu, pertanyakan mengapa sesuatu itu bisa jadi sebuah beban? Daripada memikulnya, cobalah mengatasinya, atau … jika tak mungkin, letakkan dan jangan pernah kaupungut lagi. Butuh waktu melakukannya, tapi lihatlah apa yang akan kamu temukan setelah berhasil melalui fase ini.
Akan selalu ada yang lebih dibanding dirimu, akan selalu ada liku dalam perjalanan hidupmu. Tapi, begitulah memang kehidupan. Jangan terlalu memikirkannya. Jika dalam perjalanan mengenali dirimu, kamu mungkin salah paham pada dirimu sendiri—ya, ini mungkin saja terjadi kalau keadaan sekitar menjadi buruk—jangan berhenti. Seiring waktu kamu akan mengerti siapa sebenarnya dirimu. Maafkan kalau kawan seperjalananmu itu melakukan kesalahan. Kamu harus melakukannya pertama kali sebelum orang lain. Tegakkan punggung dan kepalamu, tersenyumlah. Dirimu unik dan satu-satunya. Keadaanmu yang sekarang tidaklah selamanya.
Saya telah mengatakan segala yang perlu. Jika masih diberi kesempatan, semoga kita berjumpa lagi di tulisan saya yang lainnya. Ini adalah bab terakhir.
Tersenyumlah di depan cermin, semakin sering makin baik.
Salam,
Nindya Chitra
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Yourself Before Love Writing
Literatura faktuBelajar mencintai diri sendiri sambil mengejar passion menjadi penulis. Copyright © 2016 oleh Nindya Chitra