Radi melayangkan pandangannya pada jam dinding yang tepat berada di atas pintu kedai, kembali ia hembuskan nafas tak sabaran yang entah sudah berapa kali ia lakukan. Kegelisahannya tak dapat ditutupi, diketuk-ketuknya meja kedai berkali-kali, seirama dengan gerakan kakinya yang naik turun di penahan kursi.
Kalau menurut pelayan kedai sikap Radi sudah bising, hujan di luar tidak kalah bisingnya seakan-akan tak ingin kalah oleh kebisingan Radi.
Hujan kembali mengguyur Kota Bandung, yang tentunya menjadi salah satu faktor pendukung kegelisahan Radi. Pasalnya Nizar, teman satu sekolah menengah, yang tiba-tiba baru kembali dari perantauan ke Eropa Barat mengajak ketemu.
Radi sebenarnya merupakan orang yang sabar, hanya saja pertama Nizar sudah terlambat hampir dua jam, kemudian tiba-tiba turun hujan, dan yang terburuk adalah mengapa Nizar mengajak bertemu di sebuah kedai yang sangat Radi benci keberadaannya.
Kedai Sepi Menepi memang menjadi salah satu pengisi list 'Tempat yang Harus Dihindari' oleh Radi, khususnya semenjak kejadian empat tahun yang lalu. Rencana awalnya (apabila Nizar sampai tepat waktu), Radi pasti akan membujuknya untuk makan di tempat lain.
Sayangnya, Nizar tidak sampai tepat waktu ditambah derasnya hujan yang tiba-tiba datang tanpa diundang.
Untuk menghibur rasa kesalnya, Radi memutuskan untuk melihat keadaan sekitar. Properti antik yang menjadi penghias Kedai Sepi Menepi sebenarnya tidaklah begitu buruk, nuansa vintage tempo doeloe merupakan sentuhan yang padu dibalut dengan tembok kedai yang berwarna putih, atau mungkin beige? Entahlah, Radi tidak terlalu peduli dengan warna, yang penting enak dilihat saja sudah cukup.
Tembok kedai dihiasi dengan hiasan yang terbuat dari kayu, dengan palet warna yang tak jauh dari warna coklat. Diselingi dengan kata-kata bijak berbahasa Sunda, khas seperti cuitan-cuitan Ridwan Kamil, sang walikota Bandung, di Twitter. Tak lupa meja dan kursi yang juga terbuat dari kayu dan tentunya berwarna coklat.
Jangan membayangkan kesan yang seram pada Kedai Sepi Menepi, walaupun penuh oleh barang antik, pemilik kedai menggunakan lampu putih yang memiliki watt tinggi agar suasana kedai tidaklah gelap, remang-remang, seperti tempat angker.
Kedai Sepi Menepi lumayan ramai, mayoritas dipenuhi oleh anak muda. Kebanyakn dari mereka mengambil ruangan outdoor yang berada di lantai dua. Radi menyunggingkan senyum, bodoh sekali mereka dingin begini malah duduk santai di tempat yang terpapar oleh hujan.
Yah, namanya juga anak muda, walau badai menghadang rasanya belum cukup menciutkan nyali apabila tidak datang bersama tornado. Begitu lah prinsip mereka, tak apa basah bersama air hujan, yang penting bisa menyesap kopi diiringi lagu indie.
Lantai satu tempat Radi duduk tidak sebising lantai dua. Radi hanya ditemani oleh lima orang anak SMA yang sedang mengerjakan soal guna menyiapkan diri untuk UTBK beberapa bulan lagi.
"UTBK? Sudah lama juga ya, kalau waktu dulu namanya SBMPTN, lalu sebelumnya juga UMPTN" Radi mengernyitkan dahi mengingat-ingat perjuangannya dulu untuk masuk kampus impian. Tiba-tiba terbesit wajah wanita itu, wanita yang Radi tidak ingin lagi melihat wajahnya.
Radi mengibaskan tangannya, berusaha membuang jauh bayang-bayang yang menghantuinya. Kedai Sepi Menepi memang sialan, membuatnya tak sengaja teringat masa lalu. Radi kembali berusaha menjernihkan pikirannya, diseruputnya kopi panas yang sudah menjadi dingin karena ia anggurkan lebih dari 30 menit.
"Kedai Sepi Menepi memang banyak menyimpan kenangan bersama dia, tapi kan itu sudah empat tahun yang lalu, tidak ada artinya sekarang!" Radi berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Kembali lagi Radi mengamati sekitar, termasuk kasir kedai yang sedang sibuk selfie sok cantik sambil merekam video platform musik terkenal. Radi terkekeh, sepertinya di dunia ini hanya dia satu-satunya manusia yang tidak terkena demam platform musik tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepi Menepi
Historia CortaHanya serpihan kenangan milik Radi yang perlahan muncul kembali ke permukaan setelah lama terkubur di antah berantah. ••• Inspired by Diorama - Tulus