Cobalah berpaling
Ini taman mimpi
Ini taman langitku
–PeterpanSejak kecil, aku telah melihat banyak hal. Aku telah mengerti banyak hal. Tentang bagaimana cara orang tersenyum saat menimangku. Bagaimana cara mereka berkedip. Tawa ceria, senyum sumringah, tangisan pilu, dan isakan penuh sesal.
Kutelan pia rasa coklat buah tangan dari Danu, ketika berpikir apa yang harus aku lakukan hari ini untuk mengisi senggang. Awan tidak padat, tapi rata menyebar. Ibu tengah melepas rindu dengan bunga-bunga. Sudah tiga hari sejak kepergiannya dalam rangka menyambangi saudara.
Ibu memang unik. Dimatanya yang paling menawan adalah ayah. Tapi separuh hatinya yang lain adalah milik taman di pojok halaman. Seorang bidadari mungkin. Karena dengan sentuhannya, masakan rumah tak pernah gagal membuat perut keroncongan. Rambutnya terurai panjang sebahu. Wajahnya memiliki proporsi yang sempurna, tak heran jika ayah terpikat.
"Ibu bosan lihat kamu di rumah terus."
"Ada-ada saja, kan Ibu nggak perlu kangen kalo aku di rumah."
"Masmu apa nggak pernah kangen, ya? Ibu lho wis kangen tapi nggak pulang-pulang."
"Hahahaha ya nggak gitu, Bu. Kan lagi cari sangu buat nikah sama Mbak Sari. Katanya dapat kontrak baru lagi, Bu."
"Syukur ya, Na. Rejekinya Masmu lancar." Ibu meletakkan sarung tangan diantara kami. "Keluar sana, sama Danu. Libur kok cuma di rumah aja."
"Besok deh, Bu. Sekarang panas."
"Warnamu makin aneh nggak pernah disorot matahari. Udah sana!"
Aku beranjak untuk ganti baju. Perkataan ibu ada benarnya. Jatah libur dua minggu akan sia-sia jika hanya di rumah. Toh, aku hanya duduk, berbaring, melihat ibu, melihat ayah, dan bernafas. Itu-itu saja.
"Assalamu'alaikum Buk.."
"Waalaikumsalam Le, Yana nggak ngapa-ngapain kecuali makan pia-mu."
"Nggih, Buk. Sekalian cari buku."
"Nitip ya, Le? Kasian udah kaya vampir nggak pernah kena matahari."
"Duh, Yana bukan barang lho, Bu. Mana ada yang ngatain anaknya vampir kecuali Ibu!" Aku bergabung dengan ibu dan Danu. Dari depan pintu jelas terdengar apa yang mereka bicarakan. Jika dibiarkan, bisa saja ibu bercerita ke Danu kegiatanku selama liburan.
Memang tidak masalah diceritakan, tapi mungkin Danu tidak ingin dengar. Lagipula, tidak penting.
"Yaudah, Bu. Yana berangkat ya, salim." Aku mencium tangan Ibu. Diikuti Danu.
Danu adalah teman sepermainanku sejak kecil. Rumahnya dekat, berjarak satu rumah. Bagi ibu, Danu seperti anak kedua.
Yang ketiga aku.
Entahlah, kenapa anak orang lain yang didahulukan. Padahal aku lahir lebih dulu dibanding Danu.
"Mau kemana, Na"
"Enggak, Nu. Agak siang aja."
"Gimana?" Danu sedikit menoleh.
"Hah? Apasih, Nu!?"
"Hah heh hah heh." Danu kesal. Terlihat dari kaca spion. Sepertinya jawabanku bukanlah apa yang dia inginkan.
Tak lama, motor menepi di depan penjual es krim. Segera turun, aku memilih. Danu menepikan motornya dan menyusul. Selembar sepuluh ribuan pergi dari dompetku.
Es krim memang hal yang menyenangkan. Terlalu sulit untuk dilewatkan.
"Nanti ya gantinya."
"Iya, tadi ngomong apa? Nggak denger,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir
Teen FictionSekarang aku mengerti seperti apa rasanya diandalkan seseorang. Aku belajar bagaimana cara menerima hal yang paling sulit diterima. Aku belajar bagaimana cara memaafkan hal yang paling sulit dimaafkan. Aku belajar bagaimana cara berdamai dengan di...