I will find a way
I can find you there
–SAAYLangit merebahkan tubuhnya di atas karpet bulu rasfur yang terletak di samping tempat tidurnya sesaat setelah pulang dari sekolah. Hari ini adalah hari terakhir ujian tengah semester, yang selama seminggu ini lembar ujiannya terisi dengan jawaban ragu-ragu. "Harus bilang apa ya sama mama?" katanya bermonolog.
Keningnya mengkerut mendapati sebuah panggilan dari Danu, ia tidak ingat membuat janji dengannya. Tak membiarkan Danu menunggu segera ditekannya tombol hijau di ponselnya, "Iya, ada apa?"
"Nanti habis petang anak-anak mau futsal, ikut nggak?" Tanya Danu.
"Bagaimana denganmu?"
"Ikut. Soalnya terakhir kali nggak bisa ikut,"
"Yaudah, sekali-kali." Jawabnya seraya melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore.
"Padahal tiap sabtu malam pasti futsal udah kayak rutinitas."
"Ya. Maksudnya juga gitu,"
"Semaumu aja, lah. Aku nebeng," titahnya tanpa meminta persetujuan dari Langit dan langsung mengakhiri sambungan.
Seolah tidak terkejut dengan tingkah sahabatnya, Langit acuh tak acuh meletakkan ponselnya di sembarang tempat. Mulai merasa dihampiri sepi, ia segera melenggang ke ruangan mamanya dan mendapati beliau sedang berkutat di meja kerjanya. "Mama," sapa Langit di ujung pintu.
"Hai, masuklah." Senyum sumringah menyambut kedangannya.
Beliau melepas kacamatanya dan menghampiri Langit yang terduduk di sofa, "Bagaimana ujiannya?" Tanya beliau. Langit menanggapinya dengan sebuah cengiran yang membuat mamanya keheranan.
"Nggak tau. Ma, Langit mau minta maaf dulu aja kalau nanti nilai yang keluar jelek."
"Dasar, kamu tuh perlu mengurangi futsal, Sayang. Lucu banget waktu Mama dapat kabar dari Bu Siti kalau kamu bolos belajaran beliau terus malah main futsal. Kayak nggak bakal ketemu lagi aja,"
"Kalau ketemu pelajaran suka ngantuk bawaannya. Tapi kalo udah di lapangan nggak ngantuk lagi. Makanya Langit nggak langsung masuk kelas tapi ke lapangan dulu, eh malah keterusan main futsal."
Jawaban tersebut mengundang cubitan kecil di lengannya. "Kayak Papa aja," ucap mamanya kemudian. "Oh ya, bukannya kamu lagi dicari papa?"
"Iya. Terakhir kali ketemu orang-orangnya papa. Lupa belum cerita,"
"Kenapa?"
"Aku dibantuin Danu dan Kalyana," Jawab Langit dengan merubah posisi duduk menghadap mamanya.
"Kamu lari lagi?" Langit mengangguk. "Lain kali ikut aja." Ucap mamanya mengalihkan pandangan.
"Nggak. Meskipun Akia menghubungiku sampai ratusan kali, aku nggak akan ikut." Langit mengalihkan pandangannya
"Kasian papa, Nak. Janji sama dulu sama Mama, hm?" Wanita disampingnya menyodorkan jari keliking ke hadapannya.
"Apa Mama nggak kasian sama Langit? Aku benar-benar punya papa, tapi rasanya kayak nggak punya, Ma." Tangan mamanya perlahan menurun.
"Mama nggak pernah ajarin kamu ngomong kayak gitu," Ia memandang mamanya yang dipenuhi raut kekecewaan.
"Aku belajar sendiri," Seakan tahu kemana arah pembicaraan ini bermuara, ia segera bangkit hendak keluar dari ruangan mamanya. Langit melewati sang mama yang sedang menunduk dalam, besar keyakinannya jika beliau sedang menahan menangis menyadari bahwa bahunya sedang bergetar. "Kalau memang ingin bertemu denganku, silahkan pulang." Tukasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir
Teen FictionSekarang aku mengerti seperti apa rasanya diandalkan seseorang. Aku belajar bagaimana cara menerima hal yang paling sulit diterima. Aku belajar bagaimana cara memaafkan hal yang paling sulit dimaafkan. Aku belajar bagaimana cara berdamai dengan di...