7. Paper Bag

22 5 11
                                    

I realize somehow, we own the truth
But nobody's here
—Elli K

"Betah ya disini?" kata Danu pada Laras.

"Kenapa mau repot ikutan lomba kayak gitu?" tanya Langit.

"Ih, kalian bisa diam nggak? Keluar sana kalau berisik!" Gerutu Laras dengan suara kecil.

"Ayo dong, keluar." Ucap Langit sambil memasukkan alat tulis Laras ke kotak pensil yang langsung dicegah oleh pemiliknya.

"Nggak, kalian aja yang keluar."

"Tapi nggak seru kalau nggak ada kalian. Berdua terus sama Langit nanti banyak yang ngira aku homo," kelakar Danu dibalas umpatan oleh Langit.

"Udah, kalian keluar aja dulu. Nanti kita nyusul deh. Sekarang biarin Laras kerja dulu,"

"Harus bareng, Yana." Langit bersikukuh.

"Aduh, berisik banget kalian. Cepet keluar sana!" Laras mendorong punggung mereka ke arah pintu.

Untung perpustakaan dalam keadaan sepi dan penjaganya sedang ke ruang arsip. Kalau sedang banyak orang dan ada penjaga, keberadaan kami pasti akan jadi tontonan. Otomatis ter-blacklist.

"Galak banget, sih. Mentang-mentang sekarang peringkat dua nggak mau main sama kita."

"Iya. Jangan-jangan ke Mbah Dukun? Ngaku nggak?"

Laras menatap keduanya jengah dan memilih duduk kembali. Aku memberi isyarat keduanya untuk segera pergi dari sini. Mood Laras sedang jelek, ini karena dia memintaku untuk menemani menyelesaikan esai yang akan dilombakan, tapi dua manusia itu justru muncul membuat keributan. Aku salut kegigihannya dalam belajar. Saat tingkat akhir sekolah menengah dia mulai serius belajar, katanya menyenangkan dan dia ketagihan. Ini alasan kenapa dia berhasil dapat peringkat dua, memang bukan peringkat satu, tapi cukup memuaskan, bukan?

Meskipun dia sering melupakan tugas harian, dia selalu bisa mengatasinya dengan baik.

Beda sekali denganku. Aku tidak suka hitung-hitungan, tapi cukup baik kalau disuruh menghafal. Hampir tidak ada pelajaran yang kusukai kecuali olahraga. Tapi aku dapat mengikuti pembelajaran dengan baik, ya meski nilaiku yang sekarang tidak sebaik Laras, orangtuaku-mereka tidak pernah protes.

"Selesai!!" Laras menepuk punggung tanganku.

"Akhirnya. Semoga beruntung, Laras."

Laras menunjukkan deretan giginya sambil memandang puas laptopnya. "Yaudah, yuk?" ajaknya sambil merapikan barangnya.

Aku mengangguk, menunggunya sebentar sampai Laras ada di sampingku. Kami menuju kantin, berniat mengisi perut. Laras pergi mencari tempat duduk yang terpisah dengan Danu dan Langit sementara aku memesan makan.

Saat aku datang membawa dua mangkok soto, dua manusia yang sedang Laras hindari justru mendekat.

"Sendirian aja nih, Mbak?" Laras diam mengalihkan wajahnya.

"Yah, marah."

Aku diam memperhatikan sambil makan sementara Laras melotot ketika Langit bicara dan berusaha mengambil biskuit di depannya.

"Maaf, nggak gangguin lagi deh." Ucap Danu mengulurkan tangannya, diikuti Langit.

"Soalnya sudah selesai. Aku nggak pernah ke Mbah Dukun," sahutnya ketus.

"Iya, Langit yang salah." Celetuk Danu

"Kau juga salah, bodoh,"

Laras menjabat tangan keduanya lalu segera menikmati makannya. Mereka ikut duduk bersama kami, sambil sesekali bersikap baik pada Laras. Mereka tidak akan berlangsung lama, karena keduanya sama-sama berisik.

Mengalir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang