Prolog

50 16 0
                                    

Gadis itu mengerjapkan mata, disela kelopak nampak bulatan coklat yang mulai terbangun dari bunga tidurnya. Sudah dari beberapa menit yang lalu, kakinya serasa dikelitik dan dingin.

"Aahh! Rey!" Gadis itu spontan bangkit dan terduduk, menatap bocah laki-laki dengan tawa khas yang mungkin seram, bagi beberapa orang.

"Rey! Sudah kubilang jangan dibangunin! Hese da dibere nyaho teh!" Di samping ranjang tersebut, Tristan bersandar pada tembok.

"Kan kasihan juga nanti kakak terlambat," Rey terduduk, bersikap polos.

"Emang ayeuna jam baraha?" Gadis itu mengucek ngucek matanya. Mengumpulkan nyawa.

"Emmm, liat aja sendiri!" Rey pun bangun dari ranjang sambil cecekikan dan berlari meninggalkannya, menembus tembok. Tristan menahan tawa lalu menyusul Rey.

"Heh! Argh! Dasar mereka."

Alesya Kirana, disapa akrab dengan Eca. Memiliki bibir yang biasa terkatup rapat dengan mata yang bulat, sama seperti yang lainnya. Namun, kornea coklat itu punya satu kelebihan, walaupun Eca sendiri menganggap itu sebagai kutukan sepanjang hidupnya.

"Eca! upami mandi entong lami teuing! Maneh geus telat oge nya!" Seseorang menggedor gedor pintu kamar mandi yang sedang dipakai Alesya.

"Iya mah." Eca pun buru buru memakai pakaiannya.

Mengeratkan dasi dan menepuknya pelan, keluar dari kamar mandi.

"Mau berangkat Ca?"

"Iya pah, duluan ya pah, mah. Assalammualaikum." Pamit Eca setelah ia menarik lengan tas.

Gadis itu membuka pintu lalu menutupnya kembali.

"Kan telat~" si bocah Rey mendengar isi hati Eca.

Eca menghiraukan bocah kecil yang mengejeknya, berlalu begitu saja.

Dijalan setapak itu, angin berhembus. Menghempas daun yang berjatuhan. Kala itu, Bandung terasa sunyi.

Ada yang berhembus lebih kuat daripada angin, seolah mengolok-ngolok Eca untuk menoleh, pada akhirnya pun menghentikan langkahnya.

Dalam waktu beberapa detik, ia menengok, wajahnya yang datar menilik apa yang ia lihat. Seperti kemarin, darah itu menetes dari paha gadis yang meringkuk di sisi kanannya.

Pakaian yang lusuh, membuat Eca sedikit tertegun, apalagi saat gadis itu mengangkat wajahnya, memberi celah mata untuk menatap Eca.

"Tolong.." lirihnya.

Eca memejamkan matanya, menarik semua kesedihan yang seolah berbisik di telinganya.

Hantu itu selalu berbohong, jangan sampai terbawa oleh tipu daya mereka

Kemudian Eca membuka matanya, menarik sudut bibir ketika menangkap aura merah membalut di tubuh gadis itu.

"Kamu berbohong, kamu mati tidak dengan cara seperti itu," ujarnya sebelum melanjutkan pijak.

Kita manusia, derajat kita lebih tinggi, jangan mudah terbawa pengaruhtegas Eca dalam hati.

FluchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang