Back to the Past? I

28 4 0
                                    

"Loh, Indah!" Seseorang memegang pundakku dari belakang, membuatku berbalik untuk melihat orang itu. Seorang wanita berambut panjang dan terlihat menggunakan name tag yang sama dengan milikku. Mataku melebar saat tahu siapa yang berdiri di depanku saat ini.

"Eh, Via? Kau juga masuk Universitas ini?" Tanyaku, sama kagetnya.

Via tersenyum padaku, kemudian dia menarik tanganku. "Keretanya sudah datang. Kita bicara di dalam saja." Katanya. Kami pun memasuki kereta dan berdiri di dekat pintu. Kelihatannya kereta sedikit penuh, tidak ada bangku kosong meski yang berdiri tidak terlalu banyak.

"Jadi, apa kabarmu? Ini pertama kalinya kita bertemu sejak hari kelulusan kan?" Via memulai percakapan.

"Baik, aku baik. Bagaimana denganmu?" Aku hanya bisa tersenyum dan menanyakan pertanyaan membosankan pada sahabatku ini. Memang aku sedikit menjauh dari mereka, bukan karena ada masalah, aku hanya merasa nyaman jika memulai kehidupanku dari awal lagi saat di Universitas nanti. Karena itu aku memilih Universitas di kota, yang jauh dari teman-temanku yang lain.

"Tentu saja aku baik. Aku tidak menyangka kita memasuki Universitas yang sama." Via selalu bisa memulai percakapan dengan topik yang menarik.

"Aku juga tidak menyangka. Kita selalu satu sekolah, bahkan satu kelas sejak sekolah dasar dulu. Aku malah berpikir kau akan mendapatkan beasiswa ke Amerika atau Inggris." Kataku, mengingat ia mendapat juara umum ke 2 dengan nilai hampir sempurna di angkatan kami dulu.

"Kakakku yang menginginkannya, dia kan sedang berada di Paris sekarang. Dia hanya ingin aku dekat dengannya saja." Jawab Via dengan nada kesal. Aku jadi ingat saat dia di dandani habis-habisan oleh kakaknya yang sedang kuliah jurusan Fashion di Paris.

Aku tertawa kecil mendengar dengusan Via itu, bukan hal baru bagiku saat mendengar rutukan atau bahkan kutukan kejam untuk kakak perempuannya itu. Via terkenal tomboi, bahkan terlihat dari penampilannya hari ini. Di saat anak-anak kuliah seperti kami lebih suka berdandan dan menggunakan baju dengan model-model yang sedang ngetren di majalah-majalah fashion dunia, dia masih terlihat nyaman dengan kemeja dan celana jeans panjang berwarna biru dongker. Meski begitu, dia tetap terlihat stylist.

"Hei, bagaimana kalau kita kumpul bareng lagi?" Usul Via mendadak, dia memegang dagunya sambil berpikir.

Aku teringat teman-teman lamaku, orang yang selama ini sangat dekat denganku. Meski Vialah satu-satunya sahabatku, tapi bukan berarti aku tidak punya yang lain. Aku dekat dengan mereka, tapi hanya sebatas teman dekat saja. Aku masih belum bisa menganggap mereka sahabatku. Tapi Via berbeda, meski terlihat cuek dan kejam, dia sangat perhatian dengan teman-teman dekatnya.

"Kita bisa mengundang Amel, Ratna dan Icha." Via terlihat membuka kontak di aplikasi chattingnya. Dia membuat sebuah grup, kemudian hp ku bergetar. Terlihat sebuah undangan grup masuk dan aku langsung menerimanya.

Ketika itu lah sebuah nama terlewat di kontak aplikasi chattingku, sebuah nama yang entah sudah berapa lama ini tenggelam di ribuan kontakku. Dulu, mungkin aku menandainya sebagai favorite dan menatap lama kontak itu sambil tersenyum-senyum. Tapi setelah kelulusan, semua rasa yang telah ku pendam selama hampir 2 tahun, ku lupakan.

Aku menyikut Via yang terlihat asyik dengan hp nya. "Kau masih ingat orang ini?" Aku menunjukkan layar hp ku yang sudah menunjukkan sebuah nama.

Via menatapnya sesaat sebelum kembali ke layar hpnya. "Oh dia, masih. Kenapa?" Tanyanya. Aku menatap foto profil yang di gunakan orang itu. Rasanya foto itu belum berubah juga setelah terakhir kalinya aku menatap kontak miliknya. 'Kevin Syahputra', nama itu masih tertara di kontak yang aku tunjukkan pada Via.

Merasa penasaran, aku kembali bertanya pada Via. "Kau tahu dia di mana sekarang?" Tanyaku. Via menatapku heran, karena sangat jarang sekali aku tertarik pada urusan orang lain.

"Entahlah," Via mengangkat bahunya, "dia memang tertutup, bahkan tidak ada satu orang pun yang dekat dengannya." Via masih menatap layar ponselnya, meski rasanya pikirannya entah berada di mana.

"Begitu." Aku menjawab dengan gumaman, yang bahkan menurutku Via sendiri tidak akan mendengarnya. Untuk beberapa saat, hanya suara kereta yang terdengar di antara kami. Dengungan obrolan di kursi dekat kami dan juga suara pengeras suara yang memeberikan informasi bahwa stasiun tujuan kami telah dekat.

"Seingatku Pak Budi masih mengajar di sekolah kita dulu. Mungkin beliau masih me-nyimpan data-data murid tahun kemarin." Via seolah memberikan saran. Aku menatap heran padanya, tidak mengerti maksudnya.

Via langsung tersenyum saat sadar aku memperhatikannya. "Kau sangat jarang peduli pada orang lain, aku merasa ini bisa jadi perubahan untukmu." Jawabnya singkat.

Aku baru saja hendak bertanya padanya, tapi kereta kami melambat, menandakan stasiun tujuan kami sudah dekat. Setelah kereta berhenti, setelah kami keluar dan berjalan beriringan menuju perumahan kami, aku masih saja belum mengatakan kata-kata yang belum sempat aku ucapkan tadi.

Kata 'terima kasih' yang sudah sangat jarang aku ucapkan, kembali tidak bisa kuucapkan. 

wishingWhere stories live. Discover now