Shilvia Ananda

3 0 0
                                    


Malam itu, saat aku baru pulang sekitar jam 10, aku mendapati Ayahku tertidur di ruang tamu. Ibuku sedang mati-matian menahan kantuknya dan ketika melihat aku muncul di sana, beliau langsung bangun dan memberikan tatapan khawatir. Aku kembali gugup, terlebih lagi ia menghampiriku dan memelukku dengan sangat erat.

"Dari mana saja kau? Ibu sampai menelpon guru dan teman sekelasmu. Ayahmu mencarimu ke sekolah dan kami hampir gila menunggumu pulang di sini." Ibu memarahiku. Setelah sekian lama tidak pernah merasakan kemarahannya.

Tapi kemudian tubuhnya terguncang dan ia menangis. "Kau seharusnya memikirkan perasaan kami. Bagaimana jika terjadi sesuatu, setidaknya aktifkan ponselmu."

Aku hanya bisa terdiam. Aku tidak bisa mengatakan sesuatu, karena saat itu aku sadar. Aku telah menyakiti Ibuku, untuk yang kedua kalinya dalam hidupku.

Sebelum tidur, aku sempatkan diri mengecek ponselku. Ada puluhan panggilan dari rumah dan beberapa dari ponsel ayahku. Aku memblok semua nomor itu, karena sangat takut menghadapi mereka. Aku baru menyadarinya. Aku sangat takut menghadapi masa laluku sendiri dan tanpa memikirkannya aku langsung mengharapkan hal bodoh. Lebih hebatnya lagi, harapanku terkabul saat itu juga.

Aku kembali teringat perkataan Kevin. Laki-laki bermulut tajam itu, bisa juga mengatakan hal yang keren. Aku membenci sikap Kevin, tapi aku lebih benci lagi jika tahu dia tidak ada di sampingku.

♥∙♥∙♥

Tepat saat aku sedang menunggu di perempatan jalan menuju sekolah pagi itu, seseorang memukul kepalaku dengan keras. Aku meringis dan menatap kesal pada pelaku pemukulan itu.

"Dari mana saja kau semalam?!" Suara Via terdengar sangat marah. Aku langsung mengalihkan pandanganku.

"Sebaiknya kita berangkat sekarang. Gerbang di tutup 10 menit lagi." Aku berbalik dan melangkahkan kakiku. Tapi sebelum kakiku menapak tanah, blazerku sudah di tarik oleh Via, membuatku terhempas ke belakang.

Via menunjukkan wajah terseramnya dengan senyuman iblis yang melengkung sempurna. "Ceritakan saja, jika kau tidak ingin terlambat!" Ancamnya.

Dia menghela nafasnya saat sadar jika aku hanya akan diam di sana dan tidak peduli jika kami akan terlambat. "Ya ampun, kau tidak tahu aku sangat panik saat menerima telpon dari ibumu jam 9? Bayangkan, jam 9 malam dan kau belum ada di rumah. Apa kau mulai dekat dengan Siska? Apa kau pergi ke klub malam bersama mereka?"

Tunggu, apa?

"Apa maksudmu?" Aku balas bertanya.

Aku bisa melihat rasa bersalah di wajah Via. "Aku sadar, akhir-akhir ini kau mulai menjauh dariku. Setiap istirahat kau akan pergi ke tempat lain dan kau juga tidak pernah menceritakannya padaku. Aku pikir kau akan mulai terbuka setelah sekian lama, jadi aku tidak menyelidiki atau mengikutimu. Tapi setelah mendengar kau belum pulang kemarin, aku benar-benar khawatir kau mulai bergaul dengan perempuan gila itu."

Mendadak saja dia menghentakkan kakinya, "sudahlah, kita pergi sekarang." Katanya sambil berjalan mendahuluiku.

Tapi dengan cepat aku menarik tangannya. Membuat Via menghentikan langkahnya. "Ayo bolos." Ajakku. "Kita pergi melihat danau lagi."

Mungkin jika aku belum juga peduli pada lingkunganku, aku akan membiarkannya marah padaku. Tapi dia adalah temanku, satu-satunya yang harus aku pertahankan saat ini. Tidak peduli jika aku harus melepaskan peranku selama ini dan memilih untuk menjadi diriku, asalkan aku tidak kehilangan lagi.

♥∙♥∙♥

"Sebaiknya jangan membuatku menyesal, aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku di sini." Via langsung mengomel saat aku sibuk menatap danau.

Aku tersenyum, "Via peduli pada pelajaran? Aku terkejut!" Kataku sambil tertawa.

Via melirikku dengan kesal. "Baiklah, aku akan pergi sekarang!" Ancamnya sambil beranjak dari batu tempat kami duduk.

"Kau, temanku kan?" Aku mengatakannya tanpa berpikir, bahkan aku bisa merasakan Via berhenti dan memandangiku.

"Bukan." Jawaban itu membuatku menoleh dengan wajah terkejut. "Aku sahabatmu." Lanjut Via dengan senyuman. Kemudian aku ikut tersenyum.

Via kembali duduk di sampingku dan kami saling berhadapan. "Sekarang, ceritakan kenapa kau pulang terlambat semalam."

Aku langsung cemberut, "katakan saja, kau hanya penasaran kan?" Setelah mengata-kan itu, aku kembali merasakan kepalaku di pukul.

"Jangan main-main, kalau aku marah padamu, itu artinya aku sangat mengkhawatir-kanmu." Aku bisa melihat itu di matanya.

Aku menatap Via, cukup lama. "Sebelum bercerita, aku ingin menanyakan sesuatu, boleh?" Tanyaku.

Via mengangguk. "Bagaimana jika, kau tahu di masa depan hidupmu hancur beranta-kan, apa yang akan kau lakukan?"

Via mengedipkan matanya bingung, kemudian dia tertawa keras. Membuat burung-burung yang hinggap di pohon di dekat kami, langsung berhamburan ke langit. "Kau tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan Indah. Kau bukanlah peramal, dan kita semua bisa memiliki jalan hidup yang berbeda-beda, tergantung bagaimana tuhan menuliskan takdirnya pada kita."

Aku tahu itu. Masalahnya, aku sudah tahu apa yang akan Tuhan tuliskan di buku takdirku. Hanya saja, aku berusaha menyangkalnya. Via pun tidak akan tahu, 4 bulan dari sekarang dia akan menangis di kamarku. Karena itu dia tidak akan pernah mengerti, perasaanku, kesedihanku dan sakit hatiku di masa depan.

♥∙♥∙♥

wishingWhere stories live. Discover now