satu

6 1 0
                                    

Pagi ini, terasa sangat berat untuk pertama kalinya Awan jalani hidupnya dari awal.

Matanya membengkak, idungnya terasa mampet, kepalanya pusing, tisu berserakan dimana mana dan wajahnya pucat pasi seperti tak ada gairah.

Untung saja, hari ini hari libur jadi ia bebas untuk menikmati kesedihannya terlebih dahulu.

Semalam, ia berharap ketika terbangun dari tidurnya, semua itu hanyalah mimpi. Tetapi itu semua kenyataan saat ia melihat dirinya di depan cermin yang terpampang di hadapannya.

Di dalam kamar, ia hanya melamun berjam jam hingga ia lupa bahwa hari sudah menjelang malam kembali.

"Non, makan dulu" terdengar pintu kamarnya diketuk seseorang

Tidak ada respon. Awan masih dalam keaadan melamun ditempat tidur sambil menatap dirinya di depan cermin.

Didalam fikirannya, selalu memikirkan Langit. Namun, bagaimana lagi? Toh semuanya sudah takdir.

Ia memikirkan bagaimana agar bisa berlanjut kembali dengan Langit.

Ia benar benar tidak bisa hidup tanpanya.
Kini, yang ia rasakan adalah seperti ada batu besar menghantam dirinya hingga jantungnya sakit.

"Bagaimana bi? Ada respon dari Awan?" seorang wanita cantik, langsing, dan putih dengan memakai seragam kantor menghampiri wanita paruh baya yang sedang memegang nampan berisikan nasi, lauk, dan susu putih

"Belum nyonya. Sama sekali gaada respon. Bibi takut non Awan kenapa kenapa"

"Hmm yasudah, kalau begitu biarin saya aja. Bibi kerjain yang lain aja ya"

"Iya nyonya, bibi permisi dulu"

Kini wanita yang memakai seragam Kantor itu mencoba untuk membujuk putri semata wayangnya.

"Awan Nadira, buka nak pintunya mama mau bawain kamu makanan dan juga ngomong sama kamu"

"Apa aku tidak baik mam?" sahut Awan dari dalam kamar.

"Lho, siapa bilang? Kamu baik nak, baik sekali. Buka dulu yuk pintunya. Kita bicarakan ini baik baik"

Satu jam kemudian, Awan membuka pintu kamarnya dan langsung memeluk mamanya sesekali ia meneteskan air matanya ke bahu Amira—mamanya.

Amira yang melihat anak nya sedih, ia langsung mengelus elus punggung Awan.
Amira pun membawa anaknya ke tepi kasur.

"Kamu baik sayang, mama sama papa justru bangga sama kamu"

"Mam, mama udah tau soal promnight semalam?"

"Sudah. bibi yang beritahu"

"Awan, Awan sedih mam ngeliat video itu yang ngga bener. Yang nunjukkin bahwa Awan ngeduain Langit padahal ngga mam"

Nangisnya pecah kembali. Bagaikan ia terjatuh kedalam jurang yang sangat dalam dan sekaligus batu besar menghantamnya kembali.

Sakit memang, tapi inilah kenyataannya. Awan adalah seorang wanita yang tangguh, tidak banyak memikirkan hal hal yang membuat dirinya lemah. Dan ketika mendapatkan Langit, dirinya bertambah tangguh.

Ia juga wanita remaja yang periang. Dulu, ia tak pernah memikirkan yang namanya cinta atau bahkan jatuh cinta. Tetapi, Langit begitu gagah nya menunjukkan berbagai cara untuk meluluhkan hati Awan.

Hari demi hari Langit berusaha menunjukkan cara itu hingga pada akhirnya, hati Awan luluh.

"Sayang, lelaki banyak diluar sana. Tidak hanya Langit Bagaskara saja. Dan kamu bisa mendapatkan lelaki yang sesuai dengan kriteria kamu karena kamu cantik dan pintar"

"Ngga mam, Awan cuman mau Langit"

"Memang susah untuk melupakan cinta pertama. Tetapi, percaya deh sama mama kalo kamu itu bisa ngelewatin ini semua"

Awan hanya menatap mamanya penuh tanya. Bibirnya terbungkam tidak bisa berkata banyak.

Ya, Langit adalah cinta pertama Awan. Hingga ia tak bisa melupakan kenangan yang sudah dilewati selama 4 bulan.

"Coba deh kamu tegarin hati kamu sayang"

"Eh iya, mama suapin ya makanannya" lanjut Amira

Awan membuka mulutnya secara perlahan meski nafsu makannya menghilang sedari tadi pagi.

Amira yang melihat keadaan ini, menjadi ikut sedih karena yang ia tau bahwa anaknya adalah gadis remaja yang penuh canda tawa, riang. Dan kini, senyum itu menghilang dari bibir manisnya.

Senyum itu tidak ada artinya lagi untuk Awan. Keadaan sedih ini, sama seperti hal nya ketika Aldi—papa Awan meninggal di hadapannya.

Sejak saat itu senyumannya mulai memudar, mengurung diri dan merasakan betapa salah dirinya saat itu.

Sebuah Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang