#B

32.2K 228 5
                                    


Aku terpaku pada tatapan sayu itu.
Raut wajahnya yang tidak sepantasnya memperlihatkan kesedihan saat aku menerima panggilan telepon dari suamiku.

Ya. Suamiku sebentar lagi akan datang menjemputku. Menjemputku dari kehidupan masa lalu kembali ke kehidupan yang nyata. Seharusnya aku bersyukur. Seharusnya aku tidak memikirkan terlalu dalam arti dari tatapannya. Tapi masih ada seorang gadis yang mencintainya di dalam diriku.

Aku menangkap isyaratnya yang mengajakku keluar untuk mengobrol hanya berdua. Dan aku, tentu saja mengiyakan.

"Sorry, mau ke toilet bentar." pamitku ke teman di samping kiriku yang mempersilahkanku lewat.

Dengan langkah gugup aku berjalan ke arah toilet yang aku tidak tahu pasti dimana. Hanya berjalan menjauh dari kerumunan orang.
Derap langkahku berpacu dengan jantung yang berdegup kencang membuatku semakin bingung mau pergi ke arah mana. Hingga sentuhan tangannya di punggungku menyentakku menoleh ke belakang.

"Hei.. seloww. Kok kaget gitu ?" katanya dengan suara menenangkan.
Dan aku hanya tersenyum malu.
"Kesana yuk." ajaknya sambil menunjuk sebuah bangku panjang di samping jendela besar di sudut lobi dekat lift.

Dia menyuruhku duduk dan aku menolak.
Bagaimana aku mengatur nafasku nanti.
Aku berdiri di balik jendela putih besar yang menampilkan pemandangan lampu-lampu jalan bagian samping hotel.

"Kenapa ikutan berdiri aja ?" tanyaku pada Bian yang sudah berdiri berdampingan denganku menatap keluar jendela.

"Aku gak mau kelihatan kayak orang sakit." jawabnya datar.

"Bagaimana kabarmu ?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.

"Baik, sebelum tahu kalau kamu sudah menikah."

"Tentu saja aku sudah menikah, Bian! Jangan konyol.. usiaku sudah 31 tahun."

" .. " hanya helaan nafas berat yang ku dengar sebagai jawabannya.

"Nadine.. aku merindukanmu."

Hatiku seperti di remas saat mendengar dia mengatakan kata rindu. Aku pun merasakan hal yang sama Bian, selalu. Air mataku merebak menggenangi pelupuk mata.

"Dulu.. saat-saat bersamamu adalah hal terindah dalam hidupku Nad."

"Tapi kamu pergi." jawabku dengan suara tercekat.

"Ya. Maaf."

"Kenapa ?" kenapaa Bian ?? cepat katakan padaku, kenapa kamu tega meninggalkanku tanpa kabar. Katakan apa salahku !? Bukankah hubungan kita baik-baik saja ?? Aku mencarimu kemana-mana saat itu seperti orang bodoh. Sangat bodoh.

"Nadine maafkan aku.. " suaranya lirih.

Setelah sekian lama aku menanti saat ini, menanti penjelasan darimu. Tapi nihil. Hanya kata maaf tidak cukup Bian. Aku ingin kamu memohon dengan berlutut di bawah kaki ku dan mengatakan kamu orang paling bodoh sedunia karena telah meninggalkanku. Bukan. Jangan lakukan hal yang tidak cocok denganmu. Katakan saja bahwa kamu masih mencintaiku Bian. Maka aku akan melupakan kisah cinta kita.

Air mataku jatuh tak tertahan. Aku hanya diam tak bergeming. Tubuhku menolak untuk pergi dari sisinya untuk menyembunyikan wajahku yang berantakan.

"Ya." hanya itu yang mampu ku ucapkan, sebelum ponselku bergetar.
Tanpa melihat layar ponsel yg ku genggam, aku memutar tubuhku dan berjalan kembali ke arah meja dimana teman-teman kami berada.

Belum jauh jarakku meninggalkan Bian, aku mendengarnya memanggilku.

"Nadine.. " seru Bian lirih yang masih bisa ku dengar. Tanpa menoleh ke arahnya, aku mengangkat tanganku yang memegang ponsel dan menggoyang-goyangkannya di atas pundakku.

"911." jawabku sambil lalu.

"Pamit dulu ya guys, next time kita kumpul-kumpul lagi.. see you next time. " Kataku sambil melambaikan tangan ke arah semua penghuni meja di hadapanku. Tidak lupa ku berikan senyum terbaikku.

Dan aku melangkah pergi ke arah parkiran depan, menuju mobil sport hitam keluaran BMW type X6 yang sangat mencolok.
Mobil kesayangan Raka.

"Hai cantik, bagaimana malammu ?" tanya Raka saat aku baru duduk cantik di sebelahnya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, karena Raka tidak suka ngebut kalau tidak urgent.

"Sangat menyenangkan sayang, kamu sudah makan ?"

"Jam berapa ini kamu menanyakan itu ? tapi ya, aku sudah makan sayang." Raka menyunggingkan senyum yang selalu membuatku ingin menggigit bibir bawahnya yang tebal.
"Kita langsung pulang kan ?" sambungnya.

"Sure."

Selama perjalanan menuju rumah kami yang berada di kawasan perumahan terbesar di wilayah Surabaya Timur, keheningan di dalam mobil menjadikan waktu terasa sangat panjang.
Raka tidak suka menyalakan musik saat di dalam mobil, lebih suka hening katanya, yang bagi kebanyakan orang itu akan sangat membosankan. Begitupun aku, tapi untuk malam ini hening sangat menenangkan.

Tiiinn.

Mobil sudah berada di depan sebuah rumah megah dengan desain rumah yang bergaya futuristik berpagar rendah namun memilik pintu gerbang yang cukup tinggi, sangat unik.
Mendengar bunyi klakson mobil, seorang pria berperawakan besar berseragam security bergegas menghampiri pintu gerbang dan membukanya lebar-lebar.
Pak Darma namanya, orang kampung sebelah yang sangat disegani orang di sekitarnya karena reputasinya yang mantan preman.

Mobil melenggang masuk tanpa membuka kaca jendela mobil untuk menyapa atau sekedar tersenyum pada pria setengah baya yang sudah mengabdi selama 5 tahun tersebut.
Suatu hal yang aku tidak suka dari Raka.

Mr. ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang