Bukan malah menjawab pertanyaan Andra, Bella kaget bukan kepalang. Sambil mengatur irama detak jantungnya, dia menatap Andra yang berdiri di depannya.
"Bukan urusanmu," suara Bella terkesan masih sangat kaget, "Pasti enggak tahukan apa yang tadi sore terjadi di rumah ini?" tanya Bella balik, kali ini dengan nada sedikit emosi.
"Enggak penting."
"Berarti enggak penting juga dong aku jawab pertanyaanmu."
"Terserah," sajut Andra tidak kalah kesalnya.
Kata terakhir Andra membuatnya melangkah meninggalkan Bella. Sebelum langkahnya semakin menjauh darinya, Bella malah memanggilnya dan menginginkan untuk sedikit berbincang dengan Andra.
"Andra!" teriak Bella mampu membuat Andra menghentikan langkah kakinya. "Aku pengen ngomong sesuatu."
Entah mengapa bibir Bella menyerukan nama Andra, ketika cowok itu ingin menjauh darinya. Mungkinkan dia ingin mengklarifikasi kejadian tempo hari yang sudah membuat wajah Andra sedikit memar di pelipis mata sebelah kanan atau untuk menyadarkan Andra, jika Angelo sangat membutuhkannya? Tidak ada yang tahu, hanya waktu yang mampu menjawab.
"Manggil, ya?"
"Iya, aku manggil." Bella menjawab dengan sopan agar Andra mau berbicara dengannya.
Andra berbalik dan melangkahkan kakinya menuju Bella yang sedang memegangi secangkir kopi hitam panas.
"Mau ngomong apa?" tanya Andra tanpa basa-basi.
Bella mencoba menarik napas dalam-dalam, berharap mampu menahan emosinya ketika sedang berbicara dengan makhluk yang tidak ramah lingkungan itu.
"Duduk dulu deh, kalau berdirikan kesannya enggak enak," bujuk Bella sambil mempersilakan Andra untuk duduk kursi yang ada di sampingnya.
"Mau ngomong apa, sih, riber banget. Cepetan udah ngantuk, nih!"
"Aku mau minta maaf tentang kejadian tempo hari. Aku–" suara Bella mendadak terputus.
Andra segera menimpalinya, "Aku udah lupa dengan kejadian itu."
"Jangan bohong, deh."
"Selalu berprasangka buruk," sahut Andra kembali mengeluarkan suara datarnya yang hampir saja membuat Bella memberika tonjokkan mautnya lagi.
"Dengerin aku dulu, kamu kebiasaan memotong pembicaraannya orang." Bella Kembali menarik napas sedalam mungkin, "Aku minta maaf, tempo hari lagi emosi, jadi mudah banget kepancing omongan."
"Itu bukan salahmu. Aku yang minta buat mukul. Jadi kalau diusut, aku yang salah bukan kamu."
Jawaban dari Andra menegaskan jika sebenarnya dia mampu menjadi makhluk yang menyenangkan. Bahkan dia mengakui kesalahannya sendiri. Rasanya aneh, tetapi ini benar-benar nyata. Disaksikan oleh deraian rintik hujan yang semakin menebal.
"Ngomong apa barusan?" tanya Bella dengan nada heran.
"Enggak ada siaran ulang."
Dengan kemampuan membaca raut wajah yang dia dapat ketika membaca masalah di mata pelajaran Sejarah, mampu dia terapan malam ini. Detail wajah Andra menegaskan bahwa dia benar-benar tidak menyalahkan Bella atas beberapa memar di wajahnya.
Tanpa Andra sadari, Bella beberapa kali melirik wajah tampannya. Mencoba kembali menghangatkan suasana malam yang dibumbuhi rintik hujan. Bella membuka kembali sesi percakapan dengan nada bersahabat.
"Kalau boleh tahu kemarin kmu ke makam siapa?"
"Bunda."
Bella tersentak mendengarkan jawaban Andra. Makhluk yang memiliki hati sedingin es Antratika, ternyata juga masih punya rasa kangen pada Ibunya. "Pasti kamu sayang banget, ya, sama Bunda?"
"Iya, aku kangen masa-masa di mana masih dimanjain Bunda. Kalau boleh milih, aku enggak mau tumbuh dewasa, ingin kayak dulu, selalu mendapatkan kasih sayang Bunda secara utuh."
"Tumbuh dewasa itu bukan pilihan, tapi sesuatu yang pasti terjadi dalam hidup semua manusia."
"Sok bijak banget."
"Aku enggak sok bijak. Hidup ini hanya sekali. Kenapa di hidup singkat ini kita harus mencorengnya dengan sebuah kekecewaan?"
"Kamu aja belum tentu bisa hidup dengan baik, udah ngomongin tentang arti sebuah kehidupan." Andra berbicara sambil mengulum senyum.
Ada petir yang menyambar tubuh Bella. Membuatnya tidak mampu lagi beradu argumentas dengan Andra. Bukankah setiap makhluk bebas mendeskripsikan tentang sebuah makna kehidupan. Jadi Andra tidak boleh menghakiminya seperti ini.
"Aku belajar kehidupan dari Angelo. Angelo hebat, sekalipun Tuhan tidak memberikan kesempurnaan fisik, tapi semangat hidupnya jauh lebih baik dari kita." Bella menghela napas panjang, "Kamu tahu, Angelo itu seperti sebuah cangkang telur, terlihat selalu kuat dari jauh, tetapi sebenarnya sebuah sentuhan ringan akan membuatnya terluka."
"Penting, ya?"
"Iya, penting banget buat aku. aku mohon sama kamu, bisakan sedikit bersifat lebih lunak kalau di depannya? Dia butuh perhatian itu. Aku yakin kamu bisa membuatnya bertahan hidup lebih lama dari prediksi dokter selama ini."
"Kamu itu siapa, ngatur hidupku? hidup ini enggak adil. Ke mana aja selama ini, aku enggak dicariin. Sekarang giliran aku kembali ke rumah ini, mungkin akan membalas dendam kepada semua orang yang udah buat hidupku berantakan kayak gini."
"Ini bukan salah mereka! ini salahmu sendiri yang sudah buat hidupmu hancur."
"Hidupmu aja belum tentu bisa bener, udah ngatur hidupku. Sama aja pecundang dalam kandang!" Andra mengungkapkan kedongkolan hatinya.
"Aku mohon Ndra, kamu boleh ngata-ngatain aku sekasar apapun. Kamu juga boleh benci pada semua orang yang ada di dunia ini, kecuali keluargamu yang masih ada saat ini, Angelo dan Ayahmu. Please Ndra ... please ...."
Tanpa menggubris permohonan Bella, Andra memilih beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan sahabat adiknya itu. Andra beranggapan Bella sedang menguruinya, itu tidak pantas, nyata-nyata usia Bella belih muda darinya.
Langkah kaki Andra semakin cepat meninggalkan Bella yang terduduk ditempatnya. "Ndra, pasti kamu akan menyesal!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Angelo ✔️ (Tamat)
Teen FictionMenjadi anak sebagai penyebab kematian ibunya merupakan beban yang harus ditanggung seumur hidup. Bahkan Andra sebagai sang kakak tidak mengakui akan keberadaan adiknya. Terlebih kutukan dari penyakit hemofilia yang melekat pada tubuhnya membuat Ang...