BAB 2

123 9 1
                                    

Aku tidak bisa di nilai hanya berdasarkan penampilan luarku saja.

••••

Hari senin. Hari ke delapan Cantika sebagai seorang murid di SMA Harapan Bangsa. Tidak ada yang spesial baginya, masih sama seperti tujuh hari yang sudah lalu.

Cantika menyeret kakinya melewati koridor sekolah. Seperti biasa, di sepanjang jalan banyak anak-anak yang memperhatikan gadis berkacamata tebal itu. Entah apa yang dipikirkan mereka mengenai Cantika. Yang jelas Cantika tidak begitu memperdulikannya.

Kaca mata tebal, rok lipit panjang yang hampir menutupi mata kakinya, juga model rambut yang selalu dikucir kuda. Itu-itu saja memang penampilan Cantika saat pergi ke sekolah semenjak dia menginjakkan kakinya di sekolah ini.

Kalau gadis seumurannya berlomba-lomba memoles parasnya. Membutuhkan waktu yang sangat lama untuk berdandan walau hanya sekadar ke sekolah. Tapi semua itu tidak berlaku untuk Cantika.

Cantika merasa sangat malas jika harus berhadapan dengan cermin. Lihat saja, wajah mulusnya hanya tertempel sunscreen yang di timpa dengan bedak bayi. Bibirnya hanya diberi sedikit lipgloss berwarna aprikot, warna favoritnya. Bahkan Cantika juga memakai parfum yang biasa
dipakai oleh bayi. Kata Cantika, dia lebih suka itu karena wanginya tahan lama dan aromanya tidak menyengat dihidung. Baby colonge sangat ramah untuk indera penciumannya yang sensitive.

Cantika tidak tahu bagaimana cara menimbang alis kanan dan kiri supaya simetris. Atau bagaimana cara membuat bibir ombre dengan dua warna lipstik yang berbeda. Semua tata cara bersolek itu tidak ada dalam buku catatannya. Karena yang ada di buku Cantika hanyalah rumus matematika beserta bagaimana cara penyelesaiannya.

"Cantik!" teriakan seseorang yang berlari dari arah belakang. Kemudian dia berhasil menarik ransel yang dipakai Cantika.

Cantika menoleh. Gadis berkulit kuning langsat dengan tubuh yang sedikit berisi itu berhasil mengagetkannya. Inez namanya.
Inez ngos-ngosan saat sampai tepat di hadapan Cantika.

"Gue panggil... dari tadi, nggak... nyahut-nyahut lo." Keluh Inez dengan suara dan nafas yang tidak beraturan.

"Sorry Nez, gue pakai ini." Cantika menunjukkan earphonnya.

Inez memberengut. Susah payah dia berlari, mulai dari gerbang sekolah hanya untuk mengejar Cantika. Tapi ternyata teriakannya sia-sia hanya karena benda kecil yang selalu berhasil membuat sang pemakainya menjadi tuli.

"Sialan lo." kesal Inez, "gue udah capek lari-lari sampai ketek gue basah. Nggak taunya kuping di sumpel."

"Itung-itung olahraga. Biar kurus." Cantika mengedipkan matanya. Kapan lagi bisa melihat temannya itu lari di area sekolah.
Cantika tahu betul Inez sangat benci sesuatu yang berbau olahraga. Cantika hafal karena dua tahun sudah dia mengenalnya.

Inez merupakan anak pindahan dari Banjarmasin, yang kebetulan di tempatkan di kelas 8A yang dimana Cantika juga ada di kelas tersebut. Semenjak itu mereka saling kenal dan juga akrab. Sampai sekarang.
Inez mengamati penampilan Cantika dari ujung rambut sampai ujung sepatunya. Dirinya hanya bergeleng, tidak mengerti dengan gaya penampilan Cantika sekarang. Kaca mata setebal buku novel yang Inez punya, rasa-rasanya inez ingin menyingkirkan dari wajah Cantika.

"Heran gue sama lo. Orang tuh bersyukur punya wajah cantik persis kaya namanya. Bukannya malah sengaja dibikin jelek kayak gini. Aneh lo." kata Inez memperotes Cantika.

"Jangan mulai deh Nez."

"Habis lo sok-sokan jadi badan intelijen yang membawa misi rahasia untuk perubahan dunia." seloroh Inez, "ini nih kalau sering nonton film mission: imposible."
Cantika tidak menggubris celotehan Inez.

"Serius, gue nggak suka lihat penampilan lo kayak gini Cantika."

"Nggak suka jangan di lihat, gampang."

"Ya kali gue punya dua mata yang sehat walafiat karena rajin minum jus wortel."

Cantika mendengus kesal. "Hubunganya jus wortel sama penampilan gue apa Nez?"
Inez membenarkan poninya yang berantakan. "Nggak ada sih."

"Nggak jelas."

"Gue tahu, lo kayak gini gara-gara si Agra. Tapi nggak gini juga caranya Ca."

Cantika melotot ke arah Inez, bibirnya bercicit. "Pelanin suara lo Nez, astaga."
"Sengaja, biar semua orang tahu kalau Cantika Noura itu—"

Cantika menarik Inez ke tempat yang lebih sepi. Cantika tidak mau ada satu orang pun yang mendengar pembicaraannya dengan Inez.

"Nez, please deh lo harus dukung gue."

"Nope!" Inez menggeleng cepat.

"Kenapa?"

"Lihat penampilan lo. Rambut lo, rok lo dan juga kaca mata Harry Potter ini." Inez menunjuk kaca mata milik Cantika.

Sudah kenyang rasanya Cantika mendengar omelan Inez setiap hari dari awal dia masuk ke SMA Harapan Bangsa.

"Apa yang salah dari ini semua coba Nez?"
Oke, Cantika mengakui walaupun Inez memiliki tinggi dibawah rata-rata dan badan sedikit berisi, Inez selalu percaya diri dengan semua itu. Inez anak yang pandai menata diri.

Lihat saja, wajahnya yang penuh makeup. Itu semua cukup menandakan bahwa Inez pandai menjaga penampilan. Hanya saja riasan wajah yang Inez kenakan saat ini sangatlah tipis, karena dia sadar sedang berada di area sekolah. Coba di area luar sekolah, peralatan lenong lengkap ada
di tasnya.

Di SMA Bina Bangsa membolehkan anak muridnya berdandan asal masih di batas natural dan warnanya pun tidak mencolok.
Untuk seragam, dari pihak sekolah juga sudah menentukan ukurannya. Boleh panjang atau pendek asal jangan terlalu ketat dan dengan sengaja memperlihatkan lekuk tubuh mereka.

"Bukan lo yang salah Ca. Tapi penampilan lo yang mengundang atensi anak-anak disini."

"Cupu gitu maksud lo Nez? Dan lo malu, gitu?" jawab Cantika sedikit kecewa.

"Bukan gitu Ca. Aduh, lo kok jadi salah tangkap gini sih. Maksud gue itu, gue nggak mau lo di apa-apain sama senior yang pada belagu itu. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa kaya—."

"Kaya Agra." sahut Cantika, "maka dari itu Nez gue kaya gini. Dan harusnya lo dukung gue sebagai sahabat." Inez mengembuskan nafas kasarnya. Rasa-rasanya dia harus menyudahi perdebatannya dengan
Cantika.

"Oke fine gue bakal dukung lo dan jaga rahasia ini." kata Inez mencoba mengalah.
"Tapi harus janji dulu."

"Apa lagi."

"Jangan ngomentarin penampilan gue lagi. Dan jangan sebut-sebut nama Kak Agra lagi. Apalagi di sekolahan"

"Nah, ini nih. Benar dugaan gue. Jangan bilang lo suka ya sama si Agra itu."

"Ngaco!"

"Terus?" Inez mendekatkan wajahnya ke Cantika. Dia berusaha mencari kebohongan di sana.

"Iya terus memang seperti itu. Gue sama kak Agra cuma teman yang saling dukung."

"Tapi segitunya banget belain si Agra."

"Karena Kak Agra itu korban Nez. Dan gue nggak mau apa yang menimpa dia itu terjadi ke yang lain. Yah... meski sulit."

"Tapi yang lo lakuin terlalu berisiko Ca."

"Lo kenal gue nggak baru satu atau dua hari kan Nez."

"Iya tapi...."

"Udah nggak ada tapi-tapian. Pokoknya lo harus bantuin gue dalam misi rahasia ini." Cantika merangkul Inez dan mereka berdua berjalan beriringan.

***

Masih ada waktu sepuluh menit sebelum bel pertama berbunyi. Inez dan Cantika
menyempatkan diri ke kantin. Lebih tepatnya Inez yang memaksa Cantika supaya menemaninya sarapan.

"Buruan Nez. Bentar lagi bel. Lo nggak lupa kan ini hari senin dan kita harus upacara." Cantika menenggak susu coklat hangat yang tinggal setengah gelas.

"Ca, lo kan tahu gue paling benci kalau lagi makan di buru-buru. Seenak dan semahal apapun makanannnya kalau cara menikmatinnya dengan tergesa, rasanya jadi nggak enak."

Mulut Cantika komat-kamit menirukan cerocosan Inez. Sok-sokan ngomongin makan enak dan tidak enak. Cantika tahu betul, apapun makanan yang tersaji di hadapan Inez dari harga kaki lima sampai bintang lima pasti akan dilibas tak tersisa.

"Serah lo dah Nez. Ayo cepetan habisin makanan lo. Gue nggak mau dihukum gara-gara telat ikut upacara ya."

"Bawel lo ah." Inez menyuapkan sesendok penuh nasi uduk ke mulutnya. Benar juga apa kata Cantika, kalau telat baris di lapangan yang ada mereka akan terkena hukuman.

"Gue bayar dulu." ucap Cantika bangkit dari kursinya.

"Sekalian iya Ca cuma sepuluh ribu ini." ucap inez.

"Sepuluh ribu kalau dikali sebulan berapa Nez?" Cantika mulai jengah.

Inez cengengesan. "Jangan julid kenapa Ca. Harusnya terima kasih sama gue karena udah bantuin lo habisin uang jajan."

Cantika tidak menghiraukan omongan Inez. Dia tahu kalau temannya itu bercanda. Memang benar jatah uang jajan Cantika sepuluh kali dari uang jajan Inez. Tapi percayalah Cantika tidak menginginkan hal itu. Yang Cantika inginkan saat ini hanya waktu dari kedua orang tuanya.
Kalau bisa bertukar posisi, Cantika ingin bertukar posisi saja dengan Inez.

Cantika pergi membayar, sedangkan Inez menambah kecepatan mulutnya mengunyah makanan.

Setelah menelan habis nasi uduknya dan tidak menyisakan sebutirpun nasi, inez pun bangkit dari kursi dan...

BRUKK....

Ada seseorang yang menubruknya dari arah belakang. Inez merasa kalau bagian dari punggungnya terasa ada cairan yang basa. Lantas Inez membalikkan badannya.

Mulut Inez menganga, tidak percaya dengan pemandangam yang ada di depannya.
Seorang gadis dengan seragam putih yang kini berubah menjadi warna hijau karena tumpahan jus alpokat yang ada di kedua tangannya.

"Mata lo buta!" teriak gadis itu. Wajahnya merah padam dan bola matanya seakan hampir keluar ketika melotot ke arah inez.

"Ma... maaf Kak."
Suara dua gelas platik itu di banting dengan sengaja, alhasil berserakan di atas lantai.


***

TBC

Rahasia CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang