1. AMARAH

104 7 0
                                    

"Papa malu punya anak kayak kamu, Leo. Apa sih yang kamu cari?! Semua fasilitas dan uang sudah Papa berikan. Apalagi yang kurang, hah?!" bentak Adrian. Saat tiba di rumah Adrian sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Pria itu tidak habis pikir dengan Leo. Bisa-bisanya Leo tidak naik kelas. Sebodoh apa anaknya ini?

"Kamu lihat Gamma. Adik kamu itu selalu menduduki peringkat pertama di sekolah dan selalu mengharumkan nama sekolahnya! Papa nggak tau sebodoh apa kamu dan sesusah apa pelajaran di sekolah, tetapi kalau kamu emang merasa nggak bisa, bilang sama Papa! Papa akan berikan kamu les tambahan," lanjut Adrian masih dengan bentakannya.

Apa tadi katanya? Bodoh? Leo tersenyum kecut. Gamma lagi, Gamma lagi. Ia memang tidak akan menang jika dibandingkan dengan Gamma dan segudang prestasinya. Namun, pantaskah Adrian berkata demikian?

"Kalau begini caranya, semua fasilitas yang Papa berikan ke kamu, Papa ambil sekarang," Lanjut Adrian sambil memijat kepalanya yang mulai pening.

"Ambil aja, Leo juga nggak pernah minta," jawab Leo enteng. Heh, dipikir Leo tidak bisa hidup tanpa semua fasilitas yang Adrian berikan. Tidak sama sekali. Leo bisa hidup di atas kakinya sendiri. Lagipula Leo tidak pernah meminta semua itu, Papanya sendiri yang memberikan. Bahkan Leo juga tidak meminta untuk dilahirkan.

"Bagus, segera letakkan semuanya di meja kerja Papa dan kamu akan pindah sekolah," ujar Adrian final. Hanya itu satu-satunya cara agar Leo tidak tinggal kelas.

"Perpindahan sekolahmu akan Papa urus secepatnya. Papa harap setahun ke depan kamu tidak mengacau lagi." Adrian beranjak dari hadapan Leo. Pria itu menghela napas, ia hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Mungkin caranya terlihat salah, tetapi tidak ada pilihan lain selain bertindak tegas terhadap Leo.

Leo terduduk di sofa ruang tamu. Pindah sekolah? Sejujurnya Leo tidak terima kalau harus sampai pindah sekolah, ia mulai nyaman di sekolah itu, tetapi kalau tidak pindah, Leo harus menahan malu karena tidak naik kelas.

"Loh, udah pulang? Papa ke mana?" tanya Ajeng, Mama Leo. Ajeng baru saja pulang mengambil rapot Gamma.

Leo menggedikkan bahunya. Suasana hatinya yang sedang buruk membuat ia malas berbicara dengan siapa pun termasuk mamanya.

"Gimana hasilnya?" tanya Ajeng hati-hati.

"Nggak naik," jawab Leo.

Ajeng tersenyum ke arah Leo, "Belajar lagi ya, Mama tau kamu pasti bisa," ucapnya menghibur sang anak. Sebenarnya Ajeng turut prihatin, anaknya itu pasti dimarahi habis-habisan oleh Adrian.

Leo membalas senyum Ajeng. Mamanya ini memang paling mengerti Leo. "Aku akan pindah sekolah," ucap Leo.

Ajeng menganggukkan kepalanya. Ia tidak kaget karena sudah mengetahui rencana sang suami, bahkan mereka sempat berdebat semalam. Adrian yang ngotot ingin Leo pindah sekolah jika tidak naik kelas dan Ajeng yang ingin Leo merasa bebas dengan pilihannya.

"Gimana rapot, Gamma? Ranking satu lagi ya, Ma?" tanya Leo yang dibalas anggukan oleh Ajeng. Leo sudah menebak kalau Gamma akan mencetak prestasi lagi. Adiknya itu memang sangat pintar, berbanding terbalik dengan dirinya. Kalau Leo hanya bisa membuat Adrian memijat kepalanya, lain dengan Gamma yang bisa mencetak senyum bangga dari Papanya. Bahkan ketika ada pertemuan dengan kolega bisnisnya, Adrian lebih sering mengajak Gamma. Terkadang ada rasa iri terbesit dalam dirinya, ia juga ingin sedekat itu dengan Adrian, tetapi mengingat tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya, Leo mengurungkan niat itu.

"Kamu ganti baju gih, kita makan siang sama-sama," ucap Ajeng mengelus pundak Leo.

Leo menggeleng, ia belum lapar dan belum mau bertemu Adrian. Kemarahan itu masih menyelimuti dirinya. Leo tau kalau ia tidak pintar, tetapi bisakah Adrian lebih menghargai usahanya? Leo memang nakal, ia sadar itu, tetapi ketika harus belajar maka Leo akan belajar. Meski hasilnya tidak akan sebagus milik Gamma, tetapi minimal ia sudah mencobanya.

DOUBLE LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang