6. BEDA

74 3 9
                                    

Leo tidak tau setan apa yang kini tengah merasuki Papanya. Pasalnya, Adrian tiba-tiba mengetuk pintu dan ingin berbicara dengannya. Leo semakin bingung karena pembicaraan ini akan dilakukan di ruang kerja Adrian. Sejujurnya ia malas untuk sekadar ke luar kamar setelah makan malam tadi, tetapi Leo berpikir bahwa mungkin ada suatu hal penting yang ingin Adrian bicarakan. Maka dengan berat hati Leo sudah berdiri di depan ruang kerja Papanya.

Laki-laki itu mengetuk pintu dan langsung mendapat sahutan dari dalam. Sesaat setelah membuka pintu yang Leo dapatkan adalah Adrian sedang fokus dengan laptop dan beberapa berkas yang berserakan di meja. Kening Papanya itu berkerut, mungkin ada suatu masalah dengan isi dari kertas itu.

"Pa," panggil Leo karena sejak ia memutuskan duduk di hadapan Adrian, Papanya tetap tidak mengalihkan pandangan.

"Sebentar lagi Papa selesai," jawab Adrian membuat Leo mengangguk patuh.

Laki-laki itu mulai mengedarkan pandangannya. Sekilas memori masa lalu kembali menghampiri Leo. Leo ingat sekali, saat masih kecil ia sering sekali ke ruang kerja Papanya hanya untuk mengacak buku-buku yang tersusun rapi dan membuat Adrian harus mengembalikannya ke tempat asal. Mengingat itu Leo tersenyum samar.

"Kakek telepon Papa, katanya kamu pinjam motornya," ucap Adrian membuat Leo kembali pada kesadarannya. Sebenarnya bukan Rama yang menghubunginya, melainkan Adrian. Ia melihat motor yang tak asing di halaman rumah.

"Hm, buat aku pulang pergi ke sekolah," balas Leo.

"Kembalikan pada Kakek," ucap Adrian. Nada bicaranya terdengar kaku dan ia sadar itu.  Adrian tidak tau mengapa bersama Leo ia merasa sejauh ini. Seolah ada jarak yang terbentang di antara mereka, padahal Leo adalah anaknya. Namun, hubungan keduanya tidak bisa berjalan selayaknya ia dengan Gamma.

"Leo bisa telat kalau nggak pakai motor," ujar Leo memainkan miniatur yang terletak di ujung meja.

"Pakai motormu," kata Adrian. Pria itu mengamati Leo, Adrian menyadari bahwa Leo jauh lebih pendiam dibanding Gamma, ditambah anak sulungnya itu keras kepala dan pembangkang membuat Adrian terkadang berpikir untuk melakukan pendekatan yang seperti apa.

"Kan Papa sita," balas Leo cepat.

"Nanti Papa kembalikan," ujar Adrian.

Leo mengangguk saja. Ia tidak kaget juga tidak merasa senang. "Kalau gitu, Leo kembali ke kamar."

Leo beranjak dari ruang kerja Papanya dan terkejut mendapati Mamanya dan Gamma di depan pintu.

"Pada ngapain?" tanya Leo menyeringit alisnya.

"Nguping, Kak. Hehehe," jawab Gamma tertawa garing.

"Gimana? Papa ngomong apa aja?" tanya Ajeng menatap lurus pada Leo.

"Disuruh kembaliin motor Kakek," jawab Leo.

"Terus besok berangkat pakai apa?" tanya Gamma, "mau bareng gue nggak?"

Leo menggedikkan bahunya, "Nggak usah."

"Mama anterin ya," bujuk Ajeng.

"Nggak usah, Ma. Nanti pakai ojol aja," balas Leo.

Ajeng menghela napas pasrah. Sejak SMP anaknya itu memang tidak pernah mau diantar ke sekolah, "Yaudah. Besok uangnya Mama kasih," ucapnya.

Leo mengelus bahu Mamanya, "Leo ke kamar ya. Good night, Mam," pamitnya.

Leo kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Ia sangat lelah hari ini, tubuhnya sudah meminta diistirahatkan sejak tadi. Sesampainya di kamar ia segera merebahkan tubuhnya di kasur. Tak lama kemudian laki-laki itu sudah memasuki alam mimpi.

DOUBLE LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang