Liburan semester genap telah usai, membuat para pelajar harus memaksakan diri untuk bangun pagi kembali. Pagi itu jelas jalanan begitu macet, suara klakson dari berbagai kendaraan yang berlalu-lalang saling bersahutan, tidak ada yang ingin mengalah, malah saling mendesak mencari celah. Melihat itu Leo hanya bisa menggelengkan kepala, merasa heran dengan sikap para pengendara.
Untunglah keputusan Leo berangkat dengan berjalan kaki kali ini tepat. Selain karena semua fasilitas dicabut oleh Papanya dan belum diberikan lagi sampai sekarang, Leo tidak bisa membayangkan ia ikut berdesakkan di tengah jalan dengan asap knalpot yang dikeluarkan berbagai kendaraan membuatnya bergedik ngeri. Tidak ingin ambil pusing memikirkan betapa macetnya jalanan, ia mulai memasang earphone pada kedua telinganya, ia lebih memilih mendengar lagu ketimbang harus mendengar suara klakson yang saling bersahutan. Meskipun tak berefek besar karena suara klakson lebih dominan, setidaknya lagu dapat menemaninya selama ia bosan sebab berjalan sendirian.
Tentang keputusannya mengenai pindah sekolah, akhirnya Leo menyetujuinya. Itu pun dengan beberapa syarat. Setidaknya dengan pindah sekolah ia tidak harus menahan malu dan tidak harus melakukan les tambahan yang baginya membosankan.
Jarak dari rumah ke sekolah tidak begitu jauh, hanya membutuhkan 30 menit untuk sampai di sekolah jika berjalan kaki, dari posisi Leo, ia sudah dapat melihat gedung sekolahnya beserta pigura bernamakan SMA Garda Nusantara. Leo melirik jam di pergelangan tangannya, sebentar lagi bel masuk sekolah.
Memasuki area sekolah Leo disambut oleh satpam yang menanyakan tentang dirinya dan di sinilah ia berjalan bersisian menuju ruang kepala yayasan yang tidak lain tidak bukan adalah Kakeknya. Padahal Leo tidak perlu diantar karena ia sudah tau dengan baik letak ruangan Kakeknya karena beberapa kali ia pernah ke sini.
"Silakan masuk," ucap satpam yang Leo tau bernama Udin.
"Makasih, Pak," kata Leo langsung masuk ke ruangan kakeknya.
"Pagi, Kek," sapa Leo ketika melihat Kakeknya sedang duduk di sofa sambil menyeruput kopinya.
"Duduk, Leo," pinta Rama. Kalian bisa menebak sendiri dari mana watak Adrian berasal. Ya, dari Kakek Rama. Kakeknya ini terkenal dengan ketegasannya. Hal yang membedakan Rama dengan Adrian adalah Rama sangat perhatian padanya, sedangkan Sang Papa hanya bisa memerintah Leo ini dan itu.
"Kakek kenapa minum kopi pagi-pagi? Kalau nenek tau tamat riwayat Kakek," ucap Leo membuka obrolan.
"Makanya kamu jangan bilang-bilang sama nenekmu," ucap Rama diiringi tawa.
"Asal bisa pinjam salah satu kendaraan milik Kakek," balas Leo sambil menaik turunkan alisnya. Ia tau Rama tidak akan menolak penawarannya itu, "Motor? Anggap aja itu sebagai tutup mulut."
Rama tertawa mendengarnya. Leo suka sekali bernegoisasi. "Ya, Kakek setuju." jawab Rama pada akhirnya. Memberi Leo salah satu motornya bukan suatu masalah.
Kan, benar tebakan Leo. Rama tidak akan menolak penawarannya. Justru kakeknya itu dengan cepat memberikan jawaban.
"Aku ditempatin di kelas mana, Kek?" tanya Leo.
"Di kelas IPS 3. Ngomong-ngomong, gimana kabar Papamu? Udah lama Kakek nggak ketemu. Liburan kemarin juga nggak ada yang ke rumah Kakek," ucap Rama.
Bagaimana mau main ke rumah Kakeknya. Selama liburan Adrian benar-benar mengurungnya bahkan sampai berjaga-jaga dengan membawa pekerjaan kantor ke rumah. Takut Leo kabur katanya. Padahal Leo memang ingin pergi ke Malang untuk mengisi waktu liburan.
"Papa baik, semuanya baik," jawab Leo diplomatis.
Rama menganggukkan kepala, "Kakek dengar, semua fasilitas dari Papamu dicabut?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DOUBLE L
Teen FictionPemberontak. Sekiranya itulah kata yang pantas untuk menggambarkan seorang Leonardo Xaviero Rajendra. Laki-laki yang terkenal jauh dari kata basa-basi itu paling tidak suka dikekang dan diatur. Hidup dibeda-bedakan membuat Leo keras kepala dan tak...