4. Kalau Sayang Kenapa Nggak Bilang?

3.7K 372 130
                                    

Pulang bersama Bibim memanglah bukan sebuah berkah. Pria tengil yang tengah mengendarai mobilku ini memang selalu saja membuatku kesal tiap kali memulai obrolan.

"Kenapa nggak dari tadi pas di hotel aja sih kebeletnya!" ucapku kesal karena Bibim memberhentikan mobil di minimarket.

"Panggilan alam mana ada yang tau, Nad." balasnya sambil membuka seatbeltnya.

Dari ekor mataku, aku melihat Bibim langsung masuk ke dalam minimarket tersebut. Aku berdecak pelan. Kalau saja aku tidak berperikemanusiaan, mungkin sekarang aku sudah kabur meninggalkan Bibim di sini.

Tapi, see, aku bahkan menunggunya dengan sabar meski beberapa menitku yang sangat berharga ini harus terbuang untuk menunggu Bibim buang hajat.

"Nih." Bibim mengulurkan botol kopi setelah dia keluar dari minimarket.

Aku menerimanya dengan sangsi. "Buat gue?"

Bibim mengangguk sembari memberikan pecahan uang kertas kepada tukang parkir. Setelahnya Bibim melemparkan pandangannya padaku yang masih ragu untuk meminum kopi darinya.

"Buset, Nad. Kopinya nggak gue kasih jampi-jampi. Minum aja."

Aku terkekeh, "Bukan gitu, Bim. Gue nggak mau ntar malem insom lagi."

"Gue pengen ada temen ngobrol sambil nyetir." ucapnya.

Astaga. Hanya karena pengen ngobrol, Bibim niat beli kopi ini. "Kan ini juga ngobrol, Bim."

"Adu mulut lebih tepatnya. Bukan ngobrol. Kapan lagi coba kita ngomong nggak pake berantem?"

Aku menghela napas, "Tapi awas ya kalo ntar malem gue nggak bisa tidur gara-gara minum kopi!"

"Lo bisa telfon gue, ntar gue temenin begadang." balasnya tanpa ragu.

Tubuhku mendadak kaku dan aku sendiri nggak tau kenapa ada sensasi lain dari ucapan Bibim barusan.

"Kok diem? Gue serius ... Lo bisa telfon gue kalo lagi insom." ujarnya lagi. Memberi penegasan atas ucapan dia sebelumnya. Bim, jujur aja, aku bahkan nggak tau harus mengiyakan atau menolak tawaran itu. Aku nggak mungkin merepotkan dia hanya karena nggak bisa tidur.

Aku berdecak pelan, "Nggak ah. Ntar ganggu kalo lo lagi sama doi. Mending gue main cacing."

"Nggak punya doi, Nad. Jomblo ini." timpalnya.

"Alah, bohong banget. Lo kan selalu tebar pesona kemana-mana."

"Anjir. Sumpah gue cuma tebar pesona ama satu cewek doang ... Sayangnya dia nggak sadar kalau lagi gue deketin." ujar Bibim sambil menatapku.

Tawaku mengudara. Sumpah, aku nggak tau apakah anda unsur jenaka dari ucapan Bibim saat ini. Tatapan Bibim yang terasa aneh dan telinganya yang berubah merah membuatku juga ikut kelimpungan.

Astaga, haruskah aku berada di sini lebih lama dengan Bibim? Ini bukan suasana yang biasa aku rasakan saat di kantor. Bibim layaknya sedang cuti menjahiliku. Sejak pagi tadi dia seperti malaikat.

Nggak, Nad. Nggak mungkin. Yasalam, kenapa aku gampang banget gede kepala sih!

Kulemparkan pandangan ke arah luar, sembari pelan-pelan kuseruput kopi yang ada di genggamanku.

"Kenapa lo nggak nembak dia aja?" aku memberanikan diri bertanya ini pada Bibim.

Nad, sumpah ini pertanyaan apa sih? Kenapa harus ikut campur sama urusan Bibim dan cemewewnya?

Bibim kini terkekeh pelan, "Dia kayaknya nggak suka ama gue. Ketemu gue aja kayak ketemu jin."

"Hahahahaha. Ada ya cewek yang eneg ama lo. Kirain cuma gue aja." ups ... Aku kali ini nggak bisa tahan untuk nggak berkomentar.

Kamu Worth It Untuk DiperjuangkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang