5. Petak Umpet

3.8K 424 227
                                    

NB : Sangat disarankan baca part sebelumnya.

Ini adalah rekor baru. Sudah dua hari, aku dan Bibim tidak saling bertegur sapa. Candaan, obrolan, atau bahkan hinaan yang biasa terlempar dengan mudah kini benar-benar tidak tercipta. Diamnya Bibim justru semakin membuatnya tak tersentuh.

Kulirik jam sudah menunjukkan waktu pulang. Aku menghembuskan nafas melihat Bibim begitu tangkas membereskan meja kerjanya. Kupikir, ini sudah saatnya kami mengakhiri aksi saling diam. Untuk itulah, aku juga segera bersiap pulang.

"Bim."  Aku memanggil namanya sedikit keras.

Pria itu menoleh ke arahku. Dengan segera aku berlari pelan ke arah Bibim, menyamahi langkah kaki panjangnya.

Aku menelan ludah sedikit gugup. Ini pertama kalinya aku dan Bibim terlibat perang dingin yang tak berkesudahan. "Uhm, ada waktu buat ngomong berdua nggak? Bentar aja."

Sudut mata Bibim menatapku sekian detik, tetapi setelahnya dia justru melihat ke ujung kanan lobi kantor. Dalam indera penglihatanku, terbingkai seorang perempuan cantik sedang melambaikan tangan ke arah kami. Ups, sorry, lebih tepatnya ke arah Bibim.

"Ngomong apa? Sori, gue udah ditunggu juga." begitu balas Bibim.

Bibim tampak dingin mengatakan itu, sementara aku diliputi perasaan campur aduk. Awalnya aku begitu yakin akan berbaikan dengannya, tapi ternyata pupus juga. Entah mengapa, untuk memaksa tersenyum aja rasanya sulit.

Apa karena Bibim sudah membuat janji dengan perempuan cantik itu?

"Oh nggak jadi deh, lain kali aja." sahutku kemudian, dengan sedikit lesu.

"Oke."

Tanpa berpikir lama, Bibim meninggalkan keberadaanku hanya dengan senyuman tipis sebagai salam perpisahan. Jujur saja, hatiku tiba-tiba sesak melihat reaksinya. Aku bahkan tak tahu apa sebenarnya yang tengah terjadi antara kami ini.

Apakah Bibim marah karena aku makan siang dengan Rehan?

Hal sepele seperti ini mungkinkah bisa menciptakan jarak yang sedemikian besar di antara kami?

Terlebih lagi, aku bingung dengan diriku sendiri. Mengapa aku menjadi seperti ini?

"Bim..." kupanggil nama Bibim untuk kedua kalinya.

Mudahnya langkah Bibim meninggalkanku saat ini, cukup menyayat hatiku. Bibim tak biasanya begini, dan aku pun sama. Ini di luar kendalaku.

"... Kalau gue telfon lo ntar malem, boleh nggak?" pintaku dengan nada pelan, tetapi masih bisa didengar olehnya.

Kugigit bibir bawahku pelan sembari menatapnya agak sendu. Saat Bibim menolehkan kepalanya ke arahku, ingin sekali aku menahan kepergiannya. Tapi, aku sadar kalau aku tak punya hak apapun atas kemauannya.

Kami diam sekian detik. Masih saling melemparkan pandangan satu sama lain. Aku tahu permintaan ini sedikit mengganggu, tapi kuharap Bibim bisa meluangkan waktunya untukku.

-oOo-

Malam harinya aku menjadi pemikir. Tidak biasanya aku mempermasalahkan sesuatu yang berkaitan dengan pria. Sudah bertahun-tahun aku tak bersinggungan dengan hal sentimentil seperti ini. Apalagi menyangkut seorang Bibim. Pria yang bahkan tidak kusangka-sangka akan membuatku begini.

Kamu Worth It Untuk DiperjuangkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang