6. Bisa, Tapi Mati

421 51 37
                                    

NB : sangat disarankan membaca part sebelumnya

Jogja lagi nggak baik-baik aja, ya? Ini baru jam enam, tapi udah disambut hujan deras. Aku membuka mata dengan perlahan, setelah tidur sepanjang perjalanan.

Wait, ... Kok, ini, rasanya kayak berat sebelah, ya?

Saat kutengok ke sebelah kiri, Bibim lagi sandaran di bahuku dengan mata terpejam dan mulut menganga.

Oh, pinter kali siluman ini.

"Biiiim!" Ish, aku mengangkat lenganku ke depan dengan sengaja. Biar aja, kepalanya terjungkal. Tujuannya supaya Bibim bisa segera bangun dari tidurnya yang kelewat nyenyak itu.

Ya, aku tau sih, kalo lenganku besar dan empuk. Tapi, nggak dibuat sandaran tidur juga kali. Dia ini laki-laki, lho. Bukannya di mana-mana yang manja itu perempuannya, ya? Harusnya kan aku yang tidur di bahunya. Kok malah kebalik gini sih, Bim!

Beneran agak laen.

"Selamat pagi." Bibim nyengir polos saat mengucapkan kalimat itu. "Hehe."

Pake ketawa irit lagi. Selamat pagi, mata lu, Bim. Lengan gue nih yang nggak selamat.

Dia mah enak tidurnya berkualitas, mulut ampe ngeces, saking nyamannya. Lihat nih korbannya, lenganku yang segede karung beras, jadi kebas sebelah.

"Lo mending balik deh, jangan di sini." Aku dengan sengaja mengusir Bibim. Lebih tepatnya dengan penuh permohonan agar Bibim mau pindah tempat duduk.

"Minimal balas dulu lah ucapan selamat pagi dari gue." Bibim menimpali ucapanku, jelas dong, dia masih stay alias nggak beranjak sama sekali.

Aku memilih mengalah, lalu berujar. "Baik. Selamat pagi, Pak Bibim. Selamat belanja di Indomaret."

"Hahahahahah asu." Tawa Bibim mengudara.

Aku jadi ikutan tertawa receh sambil nggak sengaja lihat wajahnya. Aku diam-diam membatin.

Oh, jadi kalo ketawa, muka lo gini, ya, Bim. Pantesan banyak yang naksir. Mana ada perempuan yang tahan lihat mata sipit  melengkung seperti bulan sabit saat senyum?

Sini, duel sama aku kalo ada!

"Sono, lu balik gih." Aku berujar sambil mendorong tubuhnya menjauh dariku. Daripada aku makin kejang-kejang lihat mukanya yang secakep ini di pagi hari. Mending kuusir secepatnya.

"Kok lo jadi kekerasan dalam rumah tangga sih, Nad." Gerutunya.

Aku lantas menyahut kesal. "Rumah tangga apaan sih, Bim. Gue taunya cuma ular tangga. Cepet balik nggak, sebelum banyak yang bangun."

"Rumah gue Jakarta, ngapain suruh balik." Timpal Bibim tanpa dosa.

Ya Tuhan, gini aja aku udah darah tinggi ngadepinnya. Dia umur doang boleh tua, tapi aslinya childish parah. Padahal kemarin malem, Bibim udah kayak malaikat, lho. Cepet amat kembali ke setelan pabriknya.

"Kembali ke tempat duduk lo, maksudnya. Ini nggak lagi bercanda, ya, Bim. Gue nggak suka lo duduk di sini." Aku menjelaskan susah payah supaya pria di depanku ini mengerti dan segera pindah dari sampingku.

"Kenapa nggak suka? Gue dibayarin sama perusahaan kok. Bebaslah gue mau duduk di mana aja." Bibim malah melipat tangannya di dada, sambil memejamkan mata. Pura-pura tidur, tuh.

Emang susah negosiasi ama Bibim. Ini orang kan bebal banget kalo dikasih tahu.

"Gue juga dibayarin sama perusahaan, bebas juga dong gue mau duduk sama siapa aja!" Aku tak mau kalah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kamu Worth It Untuk DiperjuangkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang